Jumat, 16 November 2007

Tak Cukup Ekspektasi pada Diplomasi, Perlu Desakan dari Civil Society

Sumber : Walhi

Menjelang pertemuan COP 13 di Bali pada Desember 2007 mendatang, sebagai tuan rumah pemerintah Indonesia diharapkan dapat memainkan diplomasi dan memainkan kepemimpinan dalam kancah dunia, termasuk pada rezim penanganan perubahan iklim. Untuk membaca ulang diplomasi pemerintah di percaturan politik internasional, Walhi menyelenggarakan focus group discussion pada Jumat (16/11) di Jakarta. Hadir sejumlah tokoh dari organisasi keagamaan, ormas kepemudaan dan anggota parlemen.

Chalid Muhammad, direktur eksekutif Walhi, memaparkan persoalan hutan dan diplomasi Indonesia dalam perubahan iklim. Indonesia mendapat status sebagai negara dengan emisi terbesar ketiga di dunia, di sisi lain Indonesia tetap didorong untuk menyediakan lahan untuk ditanami sawit sebagai bahan bakar nabati, pembukaan hutan tanaman industri dan industri pemegang HPH, serta menyediakan bahan mentah tambang termasuk sektor bisnis agar bisa merambah di hutan lindung. “Selama 5 tahun hingga 2006 terdapat 40.000 titik api, 80 persen di lahan perkebunan sawit HPH/HTI (Walhi, 2006), sementara kurang dari 30 persen produksi sawit dikonsumsi di dalam negeri (Renstra Deptan 2000-2014),” Chalid membeberkan fakta-fakta, “Sedang 73 persen produksi pulp dan kertas dunia diserap negara-negara Annex-1 (AS, Kanada, Uni Eropa dan Jepang) padahal total populasinya hanya 18,6 persen (CIFOR, 2006).”

Posisi Indonesia dalam perundingan mengenai perubahan iklim mengalami kelemahan diplomasi. “Kita tidak bisa menuntut Annex 1 mengurangi emisi konsumsinya,” lanjut Chalid, “sebab kita dianggap butuh dana dan bantuan teknis dari mereka.” Jalan keluarnya, Indonesia harus memperbaiki kondisi lingkungan bukan atas tekanan asing tapi kemauan politik pemerintah. Indonesia juga dapat mengambil jalan politis untuk mengangkat posisi tawar dengan moratorium logging. Negara-negara Eropa yang mengonsumsi hasil hutan bisa gempar jika hutan kita hanya untuk konsumsi domestik, tidak diekspor.

Langkah-langkah penting lainnya yaitu perbaikan hutan-hutan yang rusak, menyelesaikan sengketa lahan, memberantas korupsi di sektor kehutanan dan menurunkan produksi dari sektor yang berpotensi atau telah mengkoversi hutan.

“Saya pernah usulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar untuk mengeluarkan Perpu soal kebakaran hutan di lahan konsesi agar dapat dicabut izinnya,” ujar Chalid.

Persoalan kedaulatan seharusnya menjadi pijakan dalam perundingan internasional, demikian ditegaskan Kusfiardi dari Koalisi Anti Utang (KAU). Selama ini Indonesia hanya menjadi sumber bahan baku dan pasar dari produk-produk negara-negara industri maju.

“Kita tidak pernah lepas dari praktik kolonialisme. Seolah-olah kita ini koloni, realitasnya infrastruktur pemerintah berfungsi sebagai kaki tangan kolonial lewat Mafia Berkeley,” Ardi, begitu Kusfiardi akrab dipanggil, mengibaratkan. “Kita tidak bisa berharap kebaikan dari pihak luar, tapi butuh ketulusan tekad melindungi tumpah darah bangsa Indonesia.” Ardi mengusulkan agenda penting perubahan iklim yaitu penghapusan utang tanpa syarat dan menolak utang baru atas nama REDD maupun carbon trading.

Ketidakpedulian di Tingkat Elite

Dalam diskusi mengemuka lemahnya kepedulian di tingkat elite. Tjatur Sapto Edy dari Komisi VII DPR menengarai tidak jelasnya visi kepemimpinan nasional. “Dalam Rencana Kerja Pembangunan yang sudah disusun tiga kali, tidak ada satu pun kata lingkungan hidup atau climate change dari 9 prioritas,” Tjatur mengungkapkan. “Yang ada di kepala pemerintah berkaitan dengan CDM (clean development mechanisme) hanya soal anggaran, menunjukkan mental terjajah.”

Ditanyakan oleh Chalid tentang pandangan partai-partai di DPR, posisi Indonesia menjelang pertemuan Bali mau didorong sejauh mana, Tjatur pun merasa tidak bisa berharap banyak. “Anggota DPR itu tidak peduli dan tidak tahu,” Tjatur mengakui. Beberapa partai besar seperti PDIP dan PKB sudah bersikap tegas, tapi partai-partai lain masih dipertanyakan komitmennya. “Pak Tifatul Sembiring secara pribadi pernah menyatakan menolak moratorium logging, meskipun bukan hasil dari Rapimnas Partai”, Syaiful Iman, pembicara dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menanggapi Chalid.

“Soal pilihan kebijakan itu tergantung pemerintah, kita di luar hanya bisa mendorong,” ujar Gus Ipul, mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan sekarang menjabat ketua GP Anshor, ormas kepemudaan di bawah NU.

Persoalan yang sama dirasakan di kalangan rohaniwan. Romo Johannes Irianto dari ICRP (Indonesian Conference for Religion and Peace) serta perwakilan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) mengakui kelemahan kalangan agamawan dalam menyikapi persoalan lingkungan. Baru pada pesan Tahun Baru 1990, Paus Paulus menyatakan muncul kesadaran kuat bahwa isu perdamaian tidak hanya seputar konflik senjata dan relasi antarbangsa yang tidak adil, tapi juga kelalaian perilaku yang benar terhadap alam. Ditambahkan oleh Pendeta Robert dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), “Pada 1961 Dewan Gereja Sedunia menawarkan perubahan konsep teologi yang lebih peduli alam, dengan ungkapan cosmic Christ. Tapi kemudian diam saja, tidak ada langkah konkret, hanya retorika.”

Sementara Ziad dari PP Muhammadiyah menambahkan, “Kami pernah bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri untuk mendorong diplomasi luar negeri demi penataan ulang lingkungan, khususnya soal penebangan hutan.”

Perlu Deklarasi Bersama

Terungkap dari diskusi bahwa kita tidak bisa berekspektasi terlalu besar terhadap diplomasi pemerintah menjelang pertemuan Bali. “Padahal yang dibutuhkan adalah kuatnya posisi tawar negara-negara Selatan, seperti Ekuador baru-baru ini yang menutup Taman Nasional Yasuni bagi pertambangan demi kesejahteraan warga asli Indian,” Torry Kuswardono, Manajer Kampanye Walhi, mencontohkan, “dan Perdana Menteri Italia bersikap menghargai keputusan tersebut dengan meminta perusahaan minyak Agip keluar dari sana.”

Di sisi lain, kalangan civil society tetap perlu mendesakkan kepada para pemimpin partai politik dan ormas-ormas keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah serta dari agama-agama lain, agar isu lingkungan bisa menjadi kemauan politik di parlemen dan visi pemerintah dan kesadaran bersama umat beragama.

Muncul juga pandangan perlunya deklarasi bersama mengenai respons rakyat dan pemerintah dalam isu lingkungan. “ICRP siap mengorganisasikannya,“ usul Romo Johannes, “Walhi bisa memberi masukan dan rancangan draft.”

Bangkitnya kesadaran bersama ini disuarakan Franky Sahilatua dalam petikan gitarnya, “Rumah Hijau”.

Berapa banyak energi kamu butuhkan
Sampai kamu sadar tentang bencana
Panas... bumi semakin panas
Karbondioksida membakar udara

Bumi kita hanya satu
Jaga bumi rumah hijau...

Tidak ada komentar: