Senin, 20 Desember 2004

PRD Tolak Kenaikan Harga BBM di Depan Istana Negara

Sumber: Tempo Interaktif, Action in Solidarity with Asia and the Pasific

Senin, 20 Desember 2004 | 13:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekitar seratus massa dari Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (PRD) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (20/12) mulai pukul 11.00. Mereka memprotes kenaikan harga Bahan Bakat Minyak (BBM) yang dinilai memberatkan rakyat.

Massa yang menggelar unjuk rasa dengan mengusung sejumlah bendera PRD dan sejumlah poster menempati hampir sebagian badan Jalan Medan Merdeka, sehingga arus lalu lintas di Jalan Merdeka sempat macet. Menurut Koordinator Aksi PRD, Sudiarto, selain di depan Istana Negara, aksi juga dilakukan serempak di sejumah kota. Menurut Sudarto, pihaknya tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan SBY yang menaikan BBM alasan untuk penghematan APBN.

"Kami melihat kenaikan ini justru untuk membayar utang dan bunga obligasi rekapitulasi perbankan. Yang ternyata dananya banyak dimanfaatkan oleh pos-pos yang tidak penting seperti tunjangan pejabat dan dikorupsi," kata Sudiarto. Kenaikan BBM ini, kata dia, menjadi keprihatinan karena kenaikan BBM akan memicu kenaikan harga, sementara daya beli rakyat masih rendah. "Di sisi lain, tuntutan UMP dan UMR juga tidak ditanggapi".

Menurut dia, aksi ini sengaja dilakukan di Istana Negara sebagai simbol pemerintahan SBY dan Jusuf Kalla. Menurut dia, sebenarnya jika SBY mau bekerja keras dan konsisten mengabdi pada kepentingan rakyat, banyak metode penghematan yang bisa dijalankan. Pertama, dengan membuat tingkat harga tersendiri bagi kendaraan yang konsumtif dari kelas menengah keatas, tanpa harus menaikkan harga BBM untuk yang lainnya.

Kedua, memprioritaskan penghematan konsumsi BBM dengan jalan secara bertahap membatasi jumlah kendaraan dan pemakaian BBM kelas menangah keatas melalui sejumlah regulasi, misalnya membatasi pertambahan mobil pribadi melalui kenaikan tarif mobil impor.

Menyikapi rencana pemerintah SBY-Kalla, PRD kata Sudiarto, menegaskan sikap jika SBY-Kalla tetap menaikan harga BBM, PRD menyerukan kepada seluruh rakyat untuk bersatu menurunkan pemerintahan SBY-Kalla. Pemerintahan SBY lebih baik diganti dengan pemerintahan baru, yakni pemerintahan persatuan rakyat. Pemerintahan persatuan rakyat ini merupakan persatuan dari seluruh kelas, golongan, kelompok sosial, dan individu demokratis dan prorakyat.

Pemerintahan ini, menurut dia, memiliki konteks untuk mengatasi problem penghematan anggaran dengan diantaranya stop pembayaran utang luar negeri sampau rakyat sejahtera, tarik obligasi rekapitulasi perbankan; tangkap, adili dan dengan pembuktian hukum terbalik dan sita harta para koruptor; mengurangi anggaran belanja turun dengan prioritas mengurangi fasilitas tunjangan, gaji pejabat, dan pengadaan belanja barang bagi kebutuhan birokrasi yang tidak perlu.

Juga mengurangi anggaran militer dengan cara membubarkan kodam, korem, kodim, koramil, babinsa, dan hentikan belanja persenjataan; nasionaliasi aset-aset bisnis TNI/Polri; cabut darurat sipil di Aceh, kembali ke meja perundingan. Dana Rp 5 triliun dari APBN untuk darurat militer dan darurat sipil itu bisa dimanfaatkan untuk subsidi BBM.

Untuk terbangunnya pemerintahan persatuan rakyat itu, PRD dalam selebarannya menyerukan kepada seluruh rakyat, mahasiswa, guru, sopir, pemilik sepeda motor, nelayan, dan pelajar, untuk bersatu membentuk komite anti kenaikan harga diseluruh kota di Indonesia sebagai alat perjuangan melawan kenaikan harga BBM. Mereka juga menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mengepung kantor-kantor pemerintahan dan menduduki pompa-pompa bensin dan memaksa untuk menjual dengan harga lama.

Aksi unjuk rasa yang dikawal ketat puluhan anggota kepolisian membubarkan diri sekitar pukul 13.00 WIB.

Ramidi-Tempo

Selengkapnya......

Selasa, 10 Agustus 2004

Militerisme Juga Terjadi di Lingkungan Pertambangan

Sumber: Detikcom

10/08/2004 16:34 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikcom

Jakarta - Masyarakat di sekitar pertambangan sulit memperoleh haknya. Selain pemerintah kurang peduli, mereka kerap harus berhadapan dengan militerisme.

Demikian ditegaskan koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Tatam), Siti Maemuna dalam sebuah diskusi bertajuk 'Belajar dari Kasus Buyat, Bagaimana Gerakan Lingkungan Menyikapinya' di auditorium Uhamka, Jl. Limau II, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2004).

"Misalnya PT. Freeport, mereka mengeluarkan Rp 50 miliar per tahun untuk membayar aparat keamanan menjaga lokasi pertambangan. Jadi bila ada warga yang bermasalah, mereka akan langsung berhadapan dengan aparat," kata Maemunah.

Lebih jauh, Maemunah mengimbau agar pemerintah lebih peduli terhadap kasus-kasus lingkungan. Salah satunya, kasus yang terjadi di Minahasa yang diduga melibatkan PT.Newmont Minahasa Raya (NMR).

"Selama ini pemerintah tidak perduli dan bahkan membiarkan masalah tersebut timbul. PT.NMR tidak memenuhi izin dalam pembuangan limbah/tailing/ (lumpur penggerusan batuan tambang). Tapi pemerintah tidak berbuat apa-apa," tutur Maemunah. (djo)

Catatan: diskusi ini aku organisir bareng kawan-kawan Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD) Komisariat Uhamka yang juga anggota Patuha dan BEM-FT Uhamka

Selengkapnya......

Rabu, 04 Agustus 2004

Pecinta Lingkungan Minta PT Newmont Ditutup

Sumber: Detikcom

04/08/2004 14:28 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikcom

Jakarta - Kantor PT Newmont Mining Group di Menara Rajawali, Kuningan, Jakarta kembali menjadi sasaran demo. Pendemo yang berasal dari aktivis pecinta alam menuntut agar PT Newmont ditutup karena telah mencemari Teluk Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

Aksi hanya dilakukan belasan orang di depan kantor Newmont, sekitar pukul 13.00 WIB, Rabu (4/8/2004). Pendemo tergabung dalam Forum Pecinta Lingkungan yang terdiri dari Pecinta Alam Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Fatuha) dan Jaringan Mahasisiwa Demokratik (JMD) Komite Kota Jabotabek.

Dalam aksinya pendemo hanya melakukan orasi dan menggelar berbagai poster berisi protes. "Tolak Capres-Cawapres Anti Lingkungan", tulis mereka dalam posternya.

Pecinta alam juga menghujat terjadinya militerisme dalam kasus lingkungan. Dalam kasus itu contohnya telah terjadi pemaksaan terhadap warga Buyat agar tak mengakui adanya pencemaran. "Tolak Militerisme dalam Kasus Lingkungan," protes mereka dalam poster yang lainnya.

Pecinta Alam juga menilai pemerintah sudah menjadi kaki tangan kapitalis internasional. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak saja memberikan jaminan keamanan tapi menempatkan pasukan TNI, Polri di sekitar lokasi pertambangan. (iy)

Catatan: aksi ini aku organisir bareng kawan-kawan Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD) Komisariat Uhamka yang juga anggota Patuha dan BEM-FT Uhamka

Selengkapnya......