Selasa, 27 November 2007

Saksi KLH Hanya Memantau, Tidak Memulihkan Rusaknya Kualitas Lingkungan

Sumber: Walhi

Persidangan kasus gugatan Walhi terhadap Lapindo dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/11) menghadirkan saksi terakhir dari pihak tergugat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Indarto Sutanto, yang bekerja sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), sebuah instansi di bawah KLH, bertugas melakukan pemantauan di lokasi semburan lumpur Sidoarjo sejak 10 Juni 2006.

“Tugas kami melakukan pendataan area untuk membatasi meluasnya area genangan lumpur, mengurangi jatuhnya korban dan menjaga agar objek-objek vital seperti jalan tol, sungai, saluran irigasi dan permukiman tetap berfungsi, serta memasang simbol-simbol bahaya mana-mana tanggul yang mudah longsor dan orang bisa tercebur,” Indarto menjelaskan detail penugasannya. Usul pembuatan tanggul dan kolam-kolam penampung lumpur juga datang dari tim penanggulangan lumpur di mana Indarto tergabung. “Tapi sejak Februari 2007, tim kami tidak lagi berkantor di Surabaya, posko sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, tiap bulan sekali kami masih mengambil sampel.”

Ketika ditanya oleh hakim ketua Soedarmadji, SH mengenai surat tugas dan kaitannya dengan jabatannya, Indarto menjelaskan bahwa tugas sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup adalah mengawasi kinerja lingkungan sebuah perusahaan, misalnya dalam pengelolaan limbah B3. “Kami melakukan verifikasi lapangan, dan membuat laporan pengawasan untuk nantinya dinilai apakah layak atau tidak perusahaan mendapat izin operasional,” kata Indarto, “Izin hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri, kami tidak berwenang soal perizinan.”

“Sebelum terjadi semburan lumpur juga sudah dilakukan pengawasan terhadap PT Lapindo Brantas?” tanya hakim ketua. “Sudah, berkaitan dengan limbah produksinya. Tapi itu tapi dilakukan oleh petugas lain,” jawab Indarto.

“Setelah terjadi semburan, apakah anda juga melakukan perbaikan kerusakan lingkungan?” tanya hakim ketua lagi. Indarto menjawab, “Tidak, kami hanya membuat rekomendasi kepada unit pemulihan kualitas lingkungan, di bawah Asisten Deputi. Pada awal terjadi semburan, kami optimis bahwa semburan bisa dihentikan. Karena itu dibuat rencana pemulihan, tapi ternyata semburan terus berlanjut. Setelah ada BPLS, unit pemulihan tidak ada lagi di lapangan. Yang ada hanya pemantauan di bawah Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan.”

Lumpur Dibuang ke Kali Porong, Surabaya bisa Banjir
Terkait dengan pembuangan lumpur ke Kali Porong, sebetulnya tim penanggulangan lumpur mempunyai usulan lain. Berdasarkan kajian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), fungsi Kali Porong antara lain untuk mencegah banjir melanda kawasan Surabaya. Jika lumpur dibuang melalui Kali Porong, dikhawatirkan lumpur akan memblok Kali Porong. Ketika musim hujan datang, Surabaya bisa terendam banjir. Karena itu menurut Indarto, diusulkan agar dibuat kanal khusus untuk mengalirkan lumpur ke laut. “Gambar rancangan teknik pembuatan kanal sudah dibuat secara sederhana oleh Timnas maupun ITS, tapi dalam kenyataannya tidak pernah direalisasikan,” kata Indarto.

Mengenai kualitas udara di lokasi semburan, Indarto mengakui tidak ada yang bisa dilakukan sehingga tim penanggulangan lumpur hanya bisa menyarankan agar menjauhi lokasi. Di kawasan ring satu semburan lumpur, sebaiknya tidak berlama-lama atau menggunakan masker pengaman. Sedangkan air lumpur sendiri langsung dibuang, tidak dilakukan pengolahan. Sebagian terlepas secara alami, ada yang masuk ke saluran irigasi sehingga air tidak dapat diminum lagi karena rasanya asin.

Di akhir persidangan, kuasa hukum pihak tergugat (KLH) mencoba menarik kesimpulan dari jawaban saksi yang diajukannya, bahwa sebagai instansi yang bertugas mengelola lingkungan hidup KLH sudah bekerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam kasus Lumpur Sidoarjo. “Secara garis besar, kami sudah bekerja maksimal melakukan pengawasan dan pengambilan sampel, dan membuat rekomendasi untuk jangka panjang,” jawab Indarto. Tapi dari jawaban-jawaban saksi, tugas yang dibebankan kepadanya sebagai pengawas lingkungan hidup BPLH sangat terbatas dan tidak memadai untuk kasus sebesar Lumpur Sidoarjo, dan tidak menggambarkan peran yang seharusnya diemban oleh KLH. Untuk pribadi saksi, memang sudah maksimal tugas yang dikerjakannya, tapi secara keseluruhan instansi KLH dengan banyak unitnya tidak terungkap di persidangan bagaimana perannya.

Sidang kali ini ditutup dengan mengagendakan pembacaan kesimpulan pada dua pekan mendatang.

Selengkapnya......

Senin, 26 November 2007

Menteri Pertanian: Perubahan Iklim Bisa Juga Menguntungkan

Sumber: Walhi

Perubahan iklim dikhawatirkan berdampak pada persoalan ketahanan pangan di Indonesia. Selama ini ketersediaan pangan digantungkan pada daerah-daerah kantung beras terutama di Pantura Jawa, mengingat kesuburan lahannya karena terbentuk dari endapan gunung berapi. Tetapi karena letaknya yang dekat dengan laut dan dataran rendah, jika terjadi kenaikan permukaan air laut akibat pencairan es di Kutub Utara, daerah-daerah ini yang paling rawan terkena dampaknya terendam air laut. Bagaimana skema pemerintah menghadapi perkiraan ini, jika terpaksa harus memindahkan lokasi, bagaimana pula kaitannya dengan dampak perubahan suhu. Kekhawatiran ini diungkapkan Dinar Rani Setiawan, Manajer Kampanye Air dan Pangan WALHI dalam talkshow “Rakyat Bicara” di TPI, Selasa (26/11), dengan tajuk Perubahan Iklim dan Penyediaan Pangan bagi Masyarakat.

“Perubahan iklim juga bisa menguntungkan kita,” demikian tanggapan Menteri Pertanian Anton Apriantono. Contohnya, menurut Mentan, tahun 2007 Indonesia mengalami kemarau basah yang justru meningkatkan produktivitas pertanian.

Dua langkah penting yang diambil pemerintah adalah adaptasi dan mitigasi. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan iklim, pemerintah berusaha mengembangkan varietas padi yang lebih tahan terhadap salinitas serta yang tahan kekeringan. Selain itu juga dilakukan ekstensifikasi di Luar Jawa, serta pemetaan potensi varietas tanaman. Pada 2008, pemerintah berencana menambah lahan 45.000 hektar.

Pernyataan Mentan dikritisi oleh pengamat pertanian IPB, Hermanto Siregar. Dalam jangka pendek, simulasi menunjukkan memang ada benefit perubahan iklim dalam mendongkrak produktivitas. Tapi perkiraan jangka panjang terjadi penurunan produksi hingga 15 persen, dengan perincian 11 persen karena kehilangan produksi dan sisanya 4 persen karena kehilangan luas panen. Dampaknya, sekitar 32 juta jiwa akan jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Hermanto menambahkan bahwa perubahan iklim tidak dapat diprediksi dengan baik, sehingga diperlukan edukasi dan respon cepat kepada para petani, dengan melakukan penyuluhan dan kerja sama lintas departemen. Dengan Departemen Kehutanan misalnya, untuk pemanfaatan hutan-hutan yang dalam kondisi ditelantarkan. “Opportunity lost yang sangat besar,” kata Hermanto, “perlu dibuka akses kepada rakyat, dengan mempercepat reforma agraria agar ada kepastian bagi para petani penggarap, di samping akses kredit pertanian.”

Selengkapnya......

Kamis, 22 November 2007

LSM Tuntut Pengusaha Penghancur Hutan Sukanto Tanoto Ditangkap

Sumber: Walhi

Kasus bebasnya Adelin Lis di persidangan PN Medan membuat geram banyak kalangan. Terbukti betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia jika harus berhadap-hadapan dengan cukong utama pelaku penghancuran hutan. Sementara di provinsi lain, praktik penghancuran hutan atas nama HPH dan HTI seperti yang dilakukan oleh RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) milik taipan Sukanto Tanoto juga harus diusut tuntas. Bahkan Sukanto Tanoto sendiri harus segera ditangkap dan diadili.

Seruan ini diteriakkan puluhan massa yang berunjuk rasa di depan kantor RAPP di Jalan Telukbetung 31 Jakarta, Kamis (22/11). Massa yang mengatasnamakan Komite Anti Penghancuran Hutan Indonesia (KAPHI) ini bergerak dari depan Bundaran Hotel Indonesia dengan membawa poster-poster antara lain berbunyi “Sukanto Tanoto Penjahat Lingkungan!” dan “Moratorium Logging Now!”

KAPHI terdiri dari sejumlah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup, pembaruan agraria, kalangan jurnalis dan penegakan HAM, yaitu WALHI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Environment Parliament Watch Jakarta, Sawit Watch, LSADI, Sarekat Hijau Indonesia, KpSHK, STN, AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria, Green Student Movement, HuMA, FPPI, SPHP dan Jikalahari Riau.

Menurut para pengunjuk rasa, industri pulp dan kertas yang dibangun Sukanto Tanoto selama ini dijalankan secara tidak berkelanjutan (sustainable), karena mengambil bahan baku dari hutan alam dan hanya sebagian kecil dari kebun HTI mereka sendiri. Kapasitas pabrik RAPP tercatat 2 juta ton per tahun, dan membutuhkan kayu sebanyak 9,46 juta meter kubik. Lebih dari 4,2 juta meter kubik per tahun (42,26%) diperoleh dari hutan alam. Praktik inin telah berlangsung lebih dari 15 tahun. Saat krisis moneter 1997, kerajaan bisnis Raja Garuda Mas (RGM), induk dari RAPP, tersangkut utang sebesar 1,14 milyar dolar akibat penyalahgunaan dan pelanggaran peraturan perbankan yang dilakukan melaluli bank miliknya sendiri, Unibank. Menggunungnya utang tidak menyurutkan langkah Sukanto Tanoto terus melakukan perluasan kapasitas industrinya, dengan menyiasati hukum di Indonesia sehingga sebagian besar utangnya ditanggung oleh Negara melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dengan demikian, Sukanto Tanoto telah melakukan kejahatan perbankan dan kejahatan lingkungan yang merugikan Negara maupun keselamatan rakyat banyak.

“RAPP menguasai 2 juta hektar lahan di Riau, itu berarti hampir tiga perempat wilayah provinsi Riau. Hanya karena satu orang, rakyat banyak dikorbankan!” kecam Syahrul (WALHI) dalam orasinya.

Sementara Pius, juga dari WALHI, mengingatkan bahwa banyak perusahaan menguras sumber daya alam sementara rakyat sekitarnya menderita banjir ketika hutan habis ditebangi. Di Jawa Timur, puluhan ribu orang kehilangan rumah karena tergenang lumpur Lapindo. Sedang di Sulawesi Utara, perusahaan pencemar lingkungan PT Newmont Minahasa Raya balik menggugat aktivis lingkungan dengan ganti rugi yang sangat besar, sama halnya dengan perusahaan pulp RAPP yang menggugat media massa, demi membungkam kritik. Wong, aktivis WALHI Riau, menandaskan bahwa tidak mungkin media mengungkap kasus tidak berdasarkan fakta.

Jika selama ini yang menjadi perhatian publik adalah soal pembalakan liar (illegal logging), Erwin (WALHI) menilai bahwa justru perusahaan-perusahaan legal-lah yang selama ini telah menghancurkan hutan. “RAPP mengambil kayu puluhan kilometer dari wilayah konsesinya,” ungkap Erwin, “tapi RAPP bilang ‘kami sah, karena dapat izin dari Menteri Kehutanan MS Kaban!’ Izin itu nyatanya dipakai untuk membabat hutan.”

Karena itu diusulkan agar pemerintah harus tegas melakukan terobosan untuk melakukan tindakan jeda tebang (moratorium logging) selama 15 tahun. Artinya, selama kurun waktu 15 tahun tak ada lagi izin konsesi dan konversi kawasan hutan baru baik untuk kepentingan perkebunan besar, HTI, HPH ataupun pertambangan besar. Sementara untuk konsesi yang telah dikeluarkan, pemerintah wajib melakukan audit menyeluruh. Izin pengambilan kayu diperbolehkan hanya untuk kepentingan non-ekspor (dalam negeri).

Orator lain dari AJI, Sawit Watch dan AMAN menyerukan tuntutan serupa. Aksi juga diwarnai penempelan stiker bertuliskan “Tangkap Sukanto Tanoto – Koruptor BLBI – Mafia Kayu Indonesia – Penggelap Pajak Negara” di pagar kantor RAPP.

Selengkapnya......

Rabu, 21 November 2007

Soal Status Badan Hukum Walhi, Saksi Ahli Hukum Perdata Lapindo dkk Tak Punya Kapasitas

Sumber: Walhi, Walhicourtcase's Weblog

Dua orang saksi ahli gagal mempermasalahkan status badan hukum Yayasan Walhi. Mereka adalah Noer Ali, PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham, dan Prof Dr Sri Gambir Melati, SH, ahli hukum perdata dari UI. Keduanya bersaksi untuk Santos Brantas Pty Ltd, tergugat keenam dalam persidangan kasus gugatan Walhi terhadap PT Lapindo Brantas dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Noer Ali yang menjabat Kepala Seksi Badan Hukum Sosial Subdit Badan Hukum Direktorat Perdata menerangkan status badan hukum yayasan menurut UU No. 16/2001 yang berlaku sejak 6 Agustus 2002. “Sesuai dengan ketentuan peralihan dalam pasal 71 ayat 1 UU No 16/2001 yang diubah dengan UU No. 28/2004, yayasan yang sudah ada dapat tetap diakui sebagai sebagai badan hukum jika sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara atau sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin operasional dari instansi terkait,” Noer Ali menjelaskan. “Dan bagi yayasan yang belum memenuhi ketentuan tersebut diberi kesempatan tiga tahun untuk menyesuaikan diri.”

Kuasa hukum tergugat, Luhut M Pangaribuan memotong, “Apakah ini berkaitan dengan bukti tambahan tentang batas waktu bagi yayasan?” Di awal persidangan, pihak tergugat mengajukan bukti tambahan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang batas waktu pendaftaran yayasan sebagai badan hukum.

“Pada ayat 2, yayasan yang tidak memenuhi kriteria ayat 1 diberi kesempatan menyesuaikan Anggaran Dasar-nya dan minta status badan hukum kepada Menteri paling lambat satu tahun,” lanjut Noer Ali. “Dan jika tidak menyesuaikan diri, berlaku pasal 71 ayat 4, yaitu tidak dapat lagi menggunakan kata ‘yayasan’ dan dapat dibubarkan berdasarkan keputusan pengadilan atas permohonan jaksa atau pihak yang berkepentingan.”

Menurut Luhut, Walhi mengajukan gugatan pada bulan Februari 2007, sedang dalam catatan Depkumham Walhi baru mendaftarkan permohonan status sebagai yayasan pada 24 Mei 2007. “Apakah ini permohonan baru atau penyesuaian yang lama?” Luhut mencoba bertanya kepada Noer Ali.

Pertanyaan ini diprotes kuasa hukum Walhi, Taufik Basari, sebab di awal persidangan Noer Ali diambil sumpah sebagai saksi ahli, bukan saksi fakta, maka seharusnya ia menjelaskan berdasarkan keahlian. Kedua belah pihak sempat bersitegang soal status saksi. Luhut mencoba berkelit minta agar saksi disumpah kembali sebagai saksi fakta, tapi diprotes Taufik, “Rancu kalau satu orang sekaligus sebagai saksi ahli dan saksi fakta, kalau mau ajukan orang lain sebagai saksi fakta.”

Menghadapi keberatan dari pihak Walhi, Luhut tetap ngotot mengulang pertanyaan yang sama hingga tiga kali. Pada pokoknya, menggunakan pasal-pasal dalam UU tentang yayasan, Luhut ingin minta jawaban dari saksi ahli yang diajukannya bahwa Walhi tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah badan hukum.

Saksi ahli berikutnya, Sri Gambir Melati, menyatakan bahwa jika sebuah organisasi mengajukan gugatan kasus perdata tapi tidak memenuhi ketentuan sebagai badan hukum, maka perbuatan hukum tersebut harus batal demi hukum. Kuasa hukum Walhi, Iki Guladin, mengingatkan pada pasal 38 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

“Dalam pasal tersebut, dasar untuk melakukan gugatan adalah harus berbentuk badan hukum atau yayasan,” lanjut Iki. “Sementara dalam pasal 71 ayat 1 huruf b UU tentang yayasan disebutkan bahwa pada saat UU mulai berlaku, yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin kegiatan dari instansi terkait. Jika instansi terkait tidak mengenal istilah perizinan, apakah yayasan tersebut bisa dikategorikan sebagai badan hukum?” Sri Gambir Melati menjawab dirinya tidak dalam kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu.

Sidang ditutup dengan kesepakatan bahwa sidang berikutnya diajukan pada Selasa pekan depan dengan mengajukan satu orang lagi saksi ahli dari pihak tergugat ke-7, 8 dan 10. Sebelumnya dari pihak Walhi mengingatkan, dalam persidangan sebelumnya disepakati bahwa persidangan kali ini yang terakhir kalinya, bahkan seharusnya tinggal pembacaan kesimpulan. Tapi dengan alasan saksi yang diajukan sedang mengikuti persiapan konferensi perubahan iklim di Bali dan baru bisa datang minggu depan, majelis hakim memutuskan permohonan tergugat.

Selengkapnya......

Senin, 19 November 2007

LSM Ragukan Komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim

Sumber: Walhi

Pemerintah berencana mengganti kompensasi izin pinjam pakai hutan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan alasan banyaknya investasi tambang yang akan masuk, pemerintahan SBY sepakat mengabaikan fungsi hutan lindung dan membuka kawasan hutan lebar-lebar untuk tambang. Rencana ini membuat prihatin sejumlah LSM (JATAM, ICEL dan Walhi) yang menggelar konferensi pers di kantor Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Selasa (20/11).

“Tak diragukan lagi, tindakan ini bentuk kebijakan dan kepemimpinan gagal, yang terus-menerus dipertontonkan SBY pada publik,” demikian penilaian Siti Maemunah (Mae) dari JATAM.

Mae mengingatkan bahwa publik telah memperkarakan UU No. 19/2004 yang mengamandemen pasal 38 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU tersebut memungkinkan sejuta hektar hutan lindung diubah menjadi kawasan keruk. Meskipun Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan UU tersebut, tapi keputusan ini memberikan preseden, setelah kasus ini tak boleh lagi ada tambang di hutan lindung. “Menteri Kehutanan tampaknya hilang ingatan,” lanjut Mae, ”Putusan MK tanggal 7 Juli 2005 itu juga memandatkan dibuatnya peraturan lebih ketat untuk memastikan pertambangan terbuka tidak menimbulkan dampak besar bagi lingkungan dan rakyat. Sayangnya, setelah ditekan pelaku tambang dan sejawatnya di kabinet, MS Kaban melunak. Kebijakan tukar guling kawasan hutan lindung yang akan ditambang diganti dengan lahan pengganti dua kali lipat, akan diganti dengan PNBP.” Menurut Mae, Peraturan Pemerintah tentang PNBP ini sedang dalam proses pembuatan di Setneg.

Sementara Torry Kuswardono dari WALHI menyayangkan sikap SBY yang pura-pura lupa bahwa hutan Indonesia dalam kondisi kritis, dengan angka deforestasi tertinggi di dunia, 2 juta ha per tahun. “Menteri hingga para bupati dibiarkan mengeluarkan ratusan perizinan baru batubara dan mineral, banyak yang tumpang tindih dengan hutan lindung,” kecam Torry.

Masalah Hutan dan Emisi Karbon

Di saat yang sama, Indonesia berkomitmen mendukung berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, lewat pengurangan emisi dari perusakan dan degradasi hutan. Ironisnya, komitmen tersebut tak bergigi jika berhadapan dengan perusahaan tambang, salah satu buktinya rencana keluarnya PNBP.

“Padahal, hanya dari 13 perusahaan tambang yang lolos lewat UU No 19/2004 saja berpotensi melepas karbon sebesar 185-251 juta ton,” Torry memaparkan data-data. “Bayangkan berapa tambahan emisi karbon ke atmosfer jika persyaratan mengubah hutan lindung diperlunak. Hingga tahun 2001 ada 158 izin pertambangan berskala besar yang berpotensi membuka 11,4 juta ha hutan lindung yang tersisa.”

Ke-13 perusahaan tersebut tersebar dari Sumatera hingga Papua. Di Sumatera, PT Karimun Granite yang menguasai seluruh hutan lindung Pulau Karimun Kecil (Riau), PT Sorik Mas Mining yang mengancam kawasan Taman Nasional Batang Gadis (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara), dan PT Natarang Mining yang meliputi tiga provinsi (Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu) dan mengancam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Di Kalimantan, tiga perusahaan dikhawatirkan merusak hutan yang menjadi daerah tangkapan air dan berpotensi menghancurkan sungai-sungai, yaitu PT Pelsart Tambang Kencana, PT Interex Sacra Raya, dan PT Indominco Mandiri. Di Sulawesi, ada PT Inco dan PT Antam. Di Maluku Utara, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Weda Bay Nickel, dan PT Antam. Sedang di Papua, PT Gag Nikel yang mayoritas sahamnya dikuasai BHP, dan juga PT Freeport.

“Komitmen soal perubahan iklim tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” lanjut Torry, “karena produksi batubara di Kalimantan justru meningkat, demi melayani 14 negara, sedang di dalam negeri 28% dipakai untuk kebutuhan di Pulau Jawa dan Sumatera, untuk Kalimantan sendiri hanya 1%.”

Perlu Sikap Tegas Hentikan Penambangan di Hutan Lindung

Mae juga menengarai upaya perusahaan-perusahaan tambang untuk mengubah status kawasan hutan lindung, dengan mendesak pemerintah daerah mengubah RTRW, seperti terjadi di kawasan heart of Borneo. “Di Kalimantan, BHP mengajukan 7 izin pertambangan dengan asistensi WWF, seolah-olah bisa melakukan penambangan dengan mengurangi dampak rusaknya keanekaragaman hayati,” Mae menyayangkan.

Sikap dan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon ke atmosfer semestinya dijalankan konsisten dengan menghentikan alih fungsi lahan hutan tanpa pandang bulu. Sektor pertambangan adalah sektor yang juga berpotensi bersar terhadap hilangnya hutan dan lepasnya emisi karbon. Tanpa menunjukkan sikap yang tegas terhadap penghentian pertambangan di hutan lindung, Indonesia akan semakin kehilangan muka di dunia. Indonesia akan dipandang sebagai negeri mata duitan yang hanya mementingkan aliran dana tanpa kejelasan komitmen.

Selengkapnya......

Jumat, 16 November 2007

Tak Cukup Ekspektasi pada Diplomasi, Perlu Desakan dari Civil Society

Sumber : Walhi

Menjelang pertemuan COP 13 di Bali pada Desember 2007 mendatang, sebagai tuan rumah pemerintah Indonesia diharapkan dapat memainkan diplomasi dan memainkan kepemimpinan dalam kancah dunia, termasuk pada rezim penanganan perubahan iklim. Untuk membaca ulang diplomasi pemerintah di percaturan politik internasional, Walhi menyelenggarakan focus group discussion pada Jumat (16/11) di Jakarta. Hadir sejumlah tokoh dari organisasi keagamaan, ormas kepemudaan dan anggota parlemen.

Chalid Muhammad, direktur eksekutif Walhi, memaparkan persoalan hutan dan diplomasi Indonesia dalam perubahan iklim. Indonesia mendapat status sebagai negara dengan emisi terbesar ketiga di dunia, di sisi lain Indonesia tetap didorong untuk menyediakan lahan untuk ditanami sawit sebagai bahan bakar nabati, pembukaan hutan tanaman industri dan industri pemegang HPH, serta menyediakan bahan mentah tambang termasuk sektor bisnis agar bisa merambah di hutan lindung. “Selama 5 tahun hingga 2006 terdapat 40.000 titik api, 80 persen di lahan perkebunan sawit HPH/HTI (Walhi, 2006), sementara kurang dari 30 persen produksi sawit dikonsumsi di dalam negeri (Renstra Deptan 2000-2014),” Chalid membeberkan fakta-fakta, “Sedang 73 persen produksi pulp dan kertas dunia diserap negara-negara Annex-1 (AS, Kanada, Uni Eropa dan Jepang) padahal total populasinya hanya 18,6 persen (CIFOR, 2006).”

Posisi Indonesia dalam perundingan mengenai perubahan iklim mengalami kelemahan diplomasi. “Kita tidak bisa menuntut Annex 1 mengurangi emisi konsumsinya,” lanjut Chalid, “sebab kita dianggap butuh dana dan bantuan teknis dari mereka.” Jalan keluarnya, Indonesia harus memperbaiki kondisi lingkungan bukan atas tekanan asing tapi kemauan politik pemerintah. Indonesia juga dapat mengambil jalan politis untuk mengangkat posisi tawar dengan moratorium logging. Negara-negara Eropa yang mengonsumsi hasil hutan bisa gempar jika hutan kita hanya untuk konsumsi domestik, tidak diekspor.

Langkah-langkah penting lainnya yaitu perbaikan hutan-hutan yang rusak, menyelesaikan sengketa lahan, memberantas korupsi di sektor kehutanan dan menurunkan produksi dari sektor yang berpotensi atau telah mengkoversi hutan.

“Saya pernah usulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar untuk mengeluarkan Perpu soal kebakaran hutan di lahan konsesi agar dapat dicabut izinnya,” ujar Chalid.

Persoalan kedaulatan seharusnya menjadi pijakan dalam perundingan internasional, demikian ditegaskan Kusfiardi dari Koalisi Anti Utang (KAU). Selama ini Indonesia hanya menjadi sumber bahan baku dan pasar dari produk-produk negara-negara industri maju.

“Kita tidak pernah lepas dari praktik kolonialisme. Seolah-olah kita ini koloni, realitasnya infrastruktur pemerintah berfungsi sebagai kaki tangan kolonial lewat Mafia Berkeley,” Ardi, begitu Kusfiardi akrab dipanggil, mengibaratkan. “Kita tidak bisa berharap kebaikan dari pihak luar, tapi butuh ketulusan tekad melindungi tumpah darah bangsa Indonesia.” Ardi mengusulkan agenda penting perubahan iklim yaitu penghapusan utang tanpa syarat dan menolak utang baru atas nama REDD maupun carbon trading.

Ketidakpedulian di Tingkat Elite

Dalam diskusi mengemuka lemahnya kepedulian di tingkat elite. Tjatur Sapto Edy dari Komisi VII DPR menengarai tidak jelasnya visi kepemimpinan nasional. “Dalam Rencana Kerja Pembangunan yang sudah disusun tiga kali, tidak ada satu pun kata lingkungan hidup atau climate change dari 9 prioritas,” Tjatur mengungkapkan. “Yang ada di kepala pemerintah berkaitan dengan CDM (clean development mechanisme) hanya soal anggaran, menunjukkan mental terjajah.”

Ditanyakan oleh Chalid tentang pandangan partai-partai di DPR, posisi Indonesia menjelang pertemuan Bali mau didorong sejauh mana, Tjatur pun merasa tidak bisa berharap banyak. “Anggota DPR itu tidak peduli dan tidak tahu,” Tjatur mengakui. Beberapa partai besar seperti PDIP dan PKB sudah bersikap tegas, tapi partai-partai lain masih dipertanyakan komitmennya. “Pak Tifatul Sembiring secara pribadi pernah menyatakan menolak moratorium logging, meskipun bukan hasil dari Rapimnas Partai”, Syaiful Iman, pembicara dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menanggapi Chalid.

“Soal pilihan kebijakan itu tergantung pemerintah, kita di luar hanya bisa mendorong,” ujar Gus Ipul, mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan sekarang menjabat ketua GP Anshor, ormas kepemudaan di bawah NU.

Persoalan yang sama dirasakan di kalangan rohaniwan. Romo Johannes Irianto dari ICRP (Indonesian Conference for Religion and Peace) serta perwakilan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) mengakui kelemahan kalangan agamawan dalam menyikapi persoalan lingkungan. Baru pada pesan Tahun Baru 1990, Paus Paulus menyatakan muncul kesadaran kuat bahwa isu perdamaian tidak hanya seputar konflik senjata dan relasi antarbangsa yang tidak adil, tapi juga kelalaian perilaku yang benar terhadap alam. Ditambahkan oleh Pendeta Robert dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), “Pada 1961 Dewan Gereja Sedunia menawarkan perubahan konsep teologi yang lebih peduli alam, dengan ungkapan cosmic Christ. Tapi kemudian diam saja, tidak ada langkah konkret, hanya retorika.”

Sementara Ziad dari PP Muhammadiyah menambahkan, “Kami pernah bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri untuk mendorong diplomasi luar negeri demi penataan ulang lingkungan, khususnya soal penebangan hutan.”

Perlu Deklarasi Bersama

Terungkap dari diskusi bahwa kita tidak bisa berekspektasi terlalu besar terhadap diplomasi pemerintah menjelang pertemuan Bali. “Padahal yang dibutuhkan adalah kuatnya posisi tawar negara-negara Selatan, seperti Ekuador baru-baru ini yang menutup Taman Nasional Yasuni bagi pertambangan demi kesejahteraan warga asli Indian,” Torry Kuswardono, Manajer Kampanye Walhi, mencontohkan, “dan Perdana Menteri Italia bersikap menghargai keputusan tersebut dengan meminta perusahaan minyak Agip keluar dari sana.”

Di sisi lain, kalangan civil society tetap perlu mendesakkan kepada para pemimpin partai politik dan ormas-ormas keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah serta dari agama-agama lain, agar isu lingkungan bisa menjadi kemauan politik di parlemen dan visi pemerintah dan kesadaran bersama umat beragama.

Muncul juga pandangan perlunya deklarasi bersama mengenai respons rakyat dan pemerintah dalam isu lingkungan. “ICRP siap mengorganisasikannya,“ usul Romo Johannes, “Walhi bisa memberi masukan dan rancangan draft.”

Bangkitnya kesadaran bersama ini disuarakan Franky Sahilatua dalam petikan gitarnya, “Rumah Hijau”.

Berapa banyak energi kamu butuhkan
Sampai kamu sadar tentang bencana
Panas... bumi semakin panas
Karbondioksida membakar udara

Bumi kita hanya satu
Jaga bumi rumah hijau...

Selengkapnya......

Kamis, 15 November 2007

Ahli Drilling ITB Akui Eksplorasi di Sumur Banjarpanji 1 Tidak Sesuai Perencanaan

Sumber: Walhi, Walhicourtcase's Weblog

Dalam persidangan kasus gugatan perdata Walhi terhadap PT Lapindo Brantas, dkk, yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (14/11), pihak tergugat kembali mengajukan dua orang saksi ahli. Yang pertama Dr. Dodi Nawangsidi dari Teknik Perminyakan ITB, ahli di bidang pengeboran (drilling) dan mekanika batuan, sedang yang kedua Prof. Agoes Sugianto ahli ekotoksikologi dari Fakultas MIPA Universitas Airlangga Surabaya.

Ditanya mengenai belum dipasangnya casing sepanjang 5.000 kaki di sumur eksplorasi Banjar Panji 1 yang dioperasikan oleh PT Lapindo Brantas, menurut Dodi, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan tidak melanggar prosedur standar drilling, sebab masih dalam batas kick tolerance, nilainya masih di bawah standar yaitu 0.5 ppg. Casing adalah pipa baja yang dipasang dalam sumur minyak atau gas pada saat drilling untuk mencegah terjadinya kebocoran dan keruntuhan dinding sumur.

Laporan Pemeriksaan BPK-RI atas Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo menyebutkan bahwa PT Lapindo Brantas pada tanggal 27 Maret 2006 telah melakukan pengeboran sampai kedalaman 9.297 kaki tetapi baru memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, sehingga ada lubang (open hole) sepanjang 5.717 kaki. Dodi menganggap ini sudah biasa dalam praktik drilling. Contohnya, pengeboran di Selat Madura dengan open hole lebih dari 4.700 kaki, di Laut Cina Selatan 6.300 kaki, dan di Kalimantan (oleh Total Indonesia) mencapai 6.000 kaki, bahkan pernah sampai 12.000 kaki.

“Dalam perencanaan drilling di Banjarpanji 1, seharusnya pada kedalaman tersebut sudah dipasang casing, tapi praktiknya di lapangan tidak sesuai,” sanggah Iki, kuasa hukum Walhi.

Dodi mengakui ketidaksesuaian drilling dengan perencanaan, tapi lagi-lagi hal ini dianggap wajar. “Tidak harus praktik sesuai dengan perencanaan,” Dodi beralasan, sambil membuat perumpamaan, “Jika naik mobil dari Bandung ke Jakarta, di awal sudah direncanakan jam segini nyampai Puncak, dalam kenyataannya bisa tidak sesuai...”

Dalam laporan resmi yang dibuat oleh BPK, tidak dipasangnya casing dinilai meningkatkan risiko timbulnya masalah sebab struktur batuan pada sumur Banjarpanji 1 didominasi oleh shale/claystone (lempung) dan sandstone (pasir). Tulisan ilmiah Prof Richard J Davies di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 menyebutkan bahwa open hole pada sumur Banjarpanji 1 menjadi saluran penghubung antara formasi Kujung (sandstone) ke lapisan aquifer yang lebih dangkal serta lapisan lempung bertekanan tinggi pada formasi Kalibeng. Fluida formasi yang masuk ke dalam sumur pada saat terjadinya kick bertemu dengan lapisan shale/claystone, dan dengan terjadinya tekanan yang kuat (overpressured) maka fluida yang telah bercampur dengan shale itu menyembur ke permukaan. Makalah yang ditulis Dr Ir Rudi Rubandini R.S. (kolega Dodi di departemen yang sama di ITB, dan diakui oleh Dodi bahwa “ahli drilling di ITB saya dan Pak Rudi”) pada 27 September 2006 juga menyimpulkan agar selama pemboran hindari open hole pada lapisan shale yang terlalu panjang.

Gempa sebagai Penyebab Semburan hanya “Kemungkinan”

Ditanya tentang latar belakang penelitian Lumpur Sidoarjo (Lusi), Dodi mengatakan “saya diundang BPPT untuk mengikuti seminar internasional IAGI pada 20 Februari 2007”. IAGI dan BPPT meyakini Lusi terjadi karena gempa Yogyakarta.

“Volume semburan lumpur yang mencapai 150.000 meter kubik per hari jauh di atas kemampuan sumur yang hanya sebesar 720 meter kubik per hari, lebih dari 200 kali lipatnya,” Dodi menjelaskan, “Pasti tidak berasal dari sumur, karena ada isotop deuterium dalam kandungan lumpur, padahal deuterium berada di kedalaman 20.000 kaki. Saya menduga dari patahan yang teraktifkan oleh aktivitas tektonik”.

Firman Jaya, kuasa hukum Walhi, mempertanyakan sebab Bleduk Kuwu yang jaraknya lebih dekat dengan pusat gempa Yogyakarta tidak terpengaruh. “Gempa itu tidak selalu yang dekat merasakan,” kilah Dodi, “contohnya gempa di Indramayu baru-baru ini tidak dirasakan di Bandung, tapi terasa di Sukabumi.”

Lebih lanjut Iki menanyakan sumber data yang dipakai Dodi sebagai bahan presentasi di seminar IAGI, dan diakui oleh Dodi, “saya dapatkan dari PT Energi Mega Persada”. Perusahaan ini adalah pemilik PT Lapindo Brantas.

Ditanyakan kaitan antara keahliannya di bidang drilling dengan penyimpulan gempa sebagai penyebab Lusi, Dodi menjawab “dari volume semburan yang sangat besar dan keluarnya lumpur bukan dari sumur pengeboran, satu-satunya kemungkinan adalah dari patahan.” Iki meminta jawaban tegas, bukan sekadar “kemungkinan”, tapi disertai detail data-data sesuai keahliannya. Kuasa hukum dari pihak tergugat memrotes, dan Dodi akhirnya mengakui, “saya bukan ahli gempa”.

Berkaitan dengan penanganan semburan, Dodi tidak menyetujui metode relief well untuk menghentikan semburan. Dodi beralasan, “Di Brunei pun pernah terjadi semburan di dekat pengeboran, dicoba dengan relief well tidak berhasil, baru berhenti setelah 20 tahun, apakah sudah habis sendiri (lumpurnya)”. Kepada majelis hakim, saksi ahli dan kuasa hukum para tergugat, Iki mengoreksi pernyataan Dodi dengan menunjukkan makalah yang menyebutkan semburan lumpur di Brunei bisa dihentikan dengan metode pemasangan 20 relief well.

Ahli Ekotoksikologi: Lumpur tidak Berbahaya, Malah Bisa untuk Spa

Sementara Prof Agoes Sugianto menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai limbah, karena menurutnya definisi limbah adalah hasil dari proses produksi. Dalam pengeboran, limbah yang dihasilkan hanya sebesar 2000-3000 meter kubik, sementara lumpur Sidoarjo volumenya jauh melampaui itu. Agoes juga menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai B3 (bahan berbahaya dan beracun) hanya karena dalam uji karakteristik bersifat reaktif.

Agoes menjelaskan tiga uji yang dilakukan di laboratorium Sucofindo dan Corelab, yaitu toxicity characteristic leaching procedure (TCLP), LD50 (letal dosis) dan LC50 (lethal concentration). TCLP untuk menguji semua bahan yang belum diketahui karakteristiknya. LD50 dilakukan untuk menguji dosis bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati. Sedangkan LC50 untuk menguji konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati.

“Hasilnya negatif, bahkan sebagian besar di bawah limit alat ukur, atau tidak terdeteksi,” tambah Agoes, “Dan saya uji LC50 dengan larva udang di habitat Kali Porong terbukti negatif. Kalau cuma beberapa ekor ikan mati, itu bukan pencemaran. Baru disebut pencemaran kalau terjadi mass mortality.”

Soal keluhan gatal-gatal yang dirasakan warga, Agoes membantah, “gatal itu karena mikrobiologi, bukan bahan kimia. Saya punya teman dari Puslitbang Geologi Kelautan, dia bilang lumpur Sidoarjo malah bisa dipakai untuk spa, bisa menyembuhkan penyakit.”

Ditanya soal pendangkalan Kali Porong akibat lumpur, menurut Agoes karena debit air kecil saat musim kemarau. “Sekarang kan sudah dipakai kapal keruk untuk mengalirkan lumpur ke laut. Jika musim hujan tiba, hanya tinggal pasir. Masyarakat malah bisa dapat pasir banyak (untuk ditambang).”

Tapi Agoes juga mengeluhkan, “saya melontarkan pandangan-pandangan saya di pertemuan di ITS, di BPPT, di radio dan TV, tapi tidak ditanggapi sama sekali.”

Selengkapnya......

Kamis, 08 November 2007

Saksi Ahli Lapindo: Lumpur Sidoarjo “Murni Peristiwa Alam”

Sumber: Walhi, Walhicourtcase's Weblog

Persidangan kasus gugatan Walhi terhadap PT Lapindo Brantas dkk Rabu (7/1) menghadirkan tiga saksi ahli dari pihak tergugat. Saksi pertama Ir Agus Guntoro, dosen Teknik Geologi Universitas Trisakti, berusaha meyakinkan majelis hakim bahwa fenomena Lumpur Sidoarjo merupakan mud volcano yang murni akibat aktivitas alam, tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Kejadian itu menurut Agus tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengeboran oleh PT Lapindo Brantas, melainkan dipicu oleh gempa Yogyakarta 27 Mei 2006.

Agus yang juga anggota IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), bergabung dalam tim investigasi yang dibentuk IAGI untuk melakukan penelitian kasus Lumpur Sidoarjo, melakukan penelitian lapangan antara bulan Juli hingga September 2007. Ketika ditanyakan oleh penggugat dari Walhi mengenai hasil penelitian tersebut, Agus mengaku tidak tahu apakah sudah dimasukkan ke dalam laporan yang diserahkan kepada pemerintah atau belum. Kepada majelis hakim, saksi dan pengacara para tergugat, pihak Walhi menunjukkan Laporan Pemeriksaan BPK yang sudah memuat hasil penelitian IAGI. Dalam Laporan Pemeriksaan BPK sendiri disimpulkan bahwa terdapat dugaan “kesalahan manusia” dalam proses eksplorasi sumur Banjar Panji 1 yang diduga memicu terjadinya semburan lumpur. Pendapat para ahli termasuk hasil penelitian IAGI yang menyatakan bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh gempa Yogyakarta hanya menjadi keterangan tambahan dalam laporan tersebut.
Saksi ahli kedua Prof Dr Ir Sukandar Asikin, PhD, guru besar Teknik Geologi ITB. Dengan memaparkan teori tentang fenomena pergerakan lempeng benua – sesuai keahliannya sebagai pakar tektonik – Asikin mengarahkan pendapatnya bahwa peristiwa Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta. Seperti saksi sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena mud volcano banyak terdapat di tempat-tempat lain di Indonesia seperti di Timor dan Irian di mana tidak ada aktivitas pengeboran sebelumnya, Asikin menyatakan Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik. Gempa Yogyakarta menyebabkan terjadinya patahan di daerah-daerah yang struktur batuannya lemah dan “kebetulan” berada di bawah permukaan Sidoarjo. Pendapat ini dipertanyakan oleh penggugat dari Walhi, sebab Sidoarjo berjarak sekitar 250 km dari pusat gempa, sedang Bleduk Kuwu (Purwodadi) yang hanya berjarak 120 km tidak terpengaruh sama sekali. Jawaban Asikin “sederhana” saja dan terkesan tidak ilmiah: Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya hanya sedikit.

Sementara staf ahli riset ITS Ir Moch Sofyan Hadi Djojopranoto, saksi ahli ketiga, yang juga merupakan Deputi Bidang Operasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) lebih banyak menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan BPLS dalam mengatasi semburan lumpur dengan membuat tanggul-tanggul dan mengalirkannya ke laut melalui Kali Porong. Sofyan juga sependapat dengan para saksi ahli sebelumnya bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik, bahwa daerah Sidoarjo berada dalam garis patahan yang memanjang hingga ke Selat Madura, dan dalam sejarah sudah terjadi fenomena serupa yang berumur ratusan tahun, bahkan tercatat dalam prasasti zaman Majapahit dan dibuatkan candi di atasnya (Tawangalun).

Pendapat ketiga saksi ahli jelas-jelas menunjukkan keseragaman yang berusaha menggiring ke arah aktivitas alam (gempa Yogyakarta) sebagai penyebab keluarnya semburan lumpur di Porong Sidoarjo dan tidak ada konektivitasnya sama sekali dengan aktivitas manusia, dalam hal ini pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Jadi, hanya “kebetulan” semata-mata. Pendapat ini berbeda dengan penjelasan ahli-ahli geologi yang lain yang diajukan oleh pihak Walhi sebelumnya, juga tulisan Mark Tinglay geolog Australia yang menunjukkan kemiripan kasus Lumpur Sidoarjo dengan kasus yang dihadapi oleh perusahaan minyak Shell di Brunei, di mana terjadi semburan lumpur yang berjarak 500 meter dari sumur eksplorasi, sedang di Sidoarjo hanya berjarak 200 meter. Anggapan bahwa Lumpur Sidoarjo terjadi “murni karena alam” terpatahkan.

Selengkapnya......