Kamis, 15 November 2007

Ahli Drilling ITB Akui Eksplorasi di Sumur Banjarpanji 1 Tidak Sesuai Perencanaan

Sumber: Walhi, Walhicourtcase's Weblog

Dalam persidangan kasus gugatan perdata Walhi terhadap PT Lapindo Brantas, dkk, yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (14/11), pihak tergugat kembali mengajukan dua orang saksi ahli. Yang pertama Dr. Dodi Nawangsidi dari Teknik Perminyakan ITB, ahli di bidang pengeboran (drilling) dan mekanika batuan, sedang yang kedua Prof. Agoes Sugianto ahli ekotoksikologi dari Fakultas MIPA Universitas Airlangga Surabaya.

Ditanya mengenai belum dipasangnya casing sepanjang 5.000 kaki di sumur eksplorasi Banjar Panji 1 yang dioperasikan oleh PT Lapindo Brantas, menurut Dodi, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan tidak melanggar prosedur standar drilling, sebab masih dalam batas kick tolerance, nilainya masih di bawah standar yaitu 0.5 ppg. Casing adalah pipa baja yang dipasang dalam sumur minyak atau gas pada saat drilling untuk mencegah terjadinya kebocoran dan keruntuhan dinding sumur.

Laporan Pemeriksaan BPK-RI atas Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo menyebutkan bahwa PT Lapindo Brantas pada tanggal 27 Maret 2006 telah melakukan pengeboran sampai kedalaman 9.297 kaki tetapi baru memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, sehingga ada lubang (open hole) sepanjang 5.717 kaki. Dodi menganggap ini sudah biasa dalam praktik drilling. Contohnya, pengeboran di Selat Madura dengan open hole lebih dari 4.700 kaki, di Laut Cina Selatan 6.300 kaki, dan di Kalimantan (oleh Total Indonesia) mencapai 6.000 kaki, bahkan pernah sampai 12.000 kaki.

“Dalam perencanaan drilling di Banjarpanji 1, seharusnya pada kedalaman tersebut sudah dipasang casing, tapi praktiknya di lapangan tidak sesuai,” sanggah Iki, kuasa hukum Walhi.

Dodi mengakui ketidaksesuaian drilling dengan perencanaan, tapi lagi-lagi hal ini dianggap wajar. “Tidak harus praktik sesuai dengan perencanaan,” Dodi beralasan, sambil membuat perumpamaan, “Jika naik mobil dari Bandung ke Jakarta, di awal sudah direncanakan jam segini nyampai Puncak, dalam kenyataannya bisa tidak sesuai...”

Dalam laporan resmi yang dibuat oleh BPK, tidak dipasangnya casing dinilai meningkatkan risiko timbulnya masalah sebab struktur batuan pada sumur Banjarpanji 1 didominasi oleh shale/claystone (lempung) dan sandstone (pasir). Tulisan ilmiah Prof Richard J Davies di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 menyebutkan bahwa open hole pada sumur Banjarpanji 1 menjadi saluran penghubung antara formasi Kujung (sandstone) ke lapisan aquifer yang lebih dangkal serta lapisan lempung bertekanan tinggi pada formasi Kalibeng. Fluida formasi yang masuk ke dalam sumur pada saat terjadinya kick bertemu dengan lapisan shale/claystone, dan dengan terjadinya tekanan yang kuat (overpressured) maka fluida yang telah bercampur dengan shale itu menyembur ke permukaan. Makalah yang ditulis Dr Ir Rudi Rubandini R.S. (kolega Dodi di departemen yang sama di ITB, dan diakui oleh Dodi bahwa “ahli drilling di ITB saya dan Pak Rudi”) pada 27 September 2006 juga menyimpulkan agar selama pemboran hindari open hole pada lapisan shale yang terlalu panjang.

Gempa sebagai Penyebab Semburan hanya “Kemungkinan”

Ditanya tentang latar belakang penelitian Lumpur Sidoarjo (Lusi), Dodi mengatakan “saya diundang BPPT untuk mengikuti seminar internasional IAGI pada 20 Februari 2007”. IAGI dan BPPT meyakini Lusi terjadi karena gempa Yogyakarta.

“Volume semburan lumpur yang mencapai 150.000 meter kubik per hari jauh di atas kemampuan sumur yang hanya sebesar 720 meter kubik per hari, lebih dari 200 kali lipatnya,” Dodi menjelaskan, “Pasti tidak berasal dari sumur, karena ada isotop deuterium dalam kandungan lumpur, padahal deuterium berada di kedalaman 20.000 kaki. Saya menduga dari patahan yang teraktifkan oleh aktivitas tektonik”.

Firman Jaya, kuasa hukum Walhi, mempertanyakan sebab Bleduk Kuwu yang jaraknya lebih dekat dengan pusat gempa Yogyakarta tidak terpengaruh. “Gempa itu tidak selalu yang dekat merasakan,” kilah Dodi, “contohnya gempa di Indramayu baru-baru ini tidak dirasakan di Bandung, tapi terasa di Sukabumi.”

Lebih lanjut Iki menanyakan sumber data yang dipakai Dodi sebagai bahan presentasi di seminar IAGI, dan diakui oleh Dodi, “saya dapatkan dari PT Energi Mega Persada”. Perusahaan ini adalah pemilik PT Lapindo Brantas.

Ditanyakan kaitan antara keahliannya di bidang drilling dengan penyimpulan gempa sebagai penyebab Lusi, Dodi menjawab “dari volume semburan yang sangat besar dan keluarnya lumpur bukan dari sumur pengeboran, satu-satunya kemungkinan adalah dari patahan.” Iki meminta jawaban tegas, bukan sekadar “kemungkinan”, tapi disertai detail data-data sesuai keahliannya. Kuasa hukum dari pihak tergugat memrotes, dan Dodi akhirnya mengakui, “saya bukan ahli gempa”.

Berkaitan dengan penanganan semburan, Dodi tidak menyetujui metode relief well untuk menghentikan semburan. Dodi beralasan, “Di Brunei pun pernah terjadi semburan di dekat pengeboran, dicoba dengan relief well tidak berhasil, baru berhenti setelah 20 tahun, apakah sudah habis sendiri (lumpurnya)”. Kepada majelis hakim, saksi ahli dan kuasa hukum para tergugat, Iki mengoreksi pernyataan Dodi dengan menunjukkan makalah yang menyebutkan semburan lumpur di Brunei bisa dihentikan dengan metode pemasangan 20 relief well.

Ahli Ekotoksikologi: Lumpur tidak Berbahaya, Malah Bisa untuk Spa

Sementara Prof Agoes Sugianto menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai limbah, karena menurutnya definisi limbah adalah hasil dari proses produksi. Dalam pengeboran, limbah yang dihasilkan hanya sebesar 2000-3000 meter kubik, sementara lumpur Sidoarjo volumenya jauh melampaui itu. Agoes juga menolak lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai B3 (bahan berbahaya dan beracun) hanya karena dalam uji karakteristik bersifat reaktif.

Agoes menjelaskan tiga uji yang dilakukan di laboratorium Sucofindo dan Corelab, yaitu toxicity characteristic leaching procedure (TCLP), LD50 (letal dosis) dan LC50 (lethal concentration). TCLP untuk menguji semua bahan yang belum diketahui karakteristiknya. LD50 dilakukan untuk menguji dosis bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati. Sedangkan LC50 untuk menguji konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50% hewan uji mati.

“Hasilnya negatif, bahkan sebagian besar di bawah limit alat ukur, atau tidak terdeteksi,” tambah Agoes, “Dan saya uji LC50 dengan larva udang di habitat Kali Porong terbukti negatif. Kalau cuma beberapa ekor ikan mati, itu bukan pencemaran. Baru disebut pencemaran kalau terjadi mass mortality.”

Soal keluhan gatal-gatal yang dirasakan warga, Agoes membantah, “gatal itu karena mikrobiologi, bukan bahan kimia. Saya punya teman dari Puslitbang Geologi Kelautan, dia bilang lumpur Sidoarjo malah bisa dipakai untuk spa, bisa menyembuhkan penyakit.”

Ditanya soal pendangkalan Kali Porong akibat lumpur, menurut Agoes karena debit air kecil saat musim kemarau. “Sekarang kan sudah dipakai kapal keruk untuk mengalirkan lumpur ke laut. Jika musim hujan tiba, hanya tinggal pasir. Masyarakat malah bisa dapat pasir banyak (untuk ditambang).”

Tapi Agoes juga mengeluhkan, “saya melontarkan pandangan-pandangan saya di pertemuan di ITS, di BPPT, di radio dan TV, tapi tidak ditanggapi sama sekali.”