Senin, 19 November 2007

LSM Ragukan Komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim

Sumber: Walhi

Pemerintah berencana mengganti kompensasi izin pinjam pakai hutan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan alasan banyaknya investasi tambang yang akan masuk, pemerintahan SBY sepakat mengabaikan fungsi hutan lindung dan membuka kawasan hutan lebar-lebar untuk tambang. Rencana ini membuat prihatin sejumlah LSM (JATAM, ICEL dan Walhi) yang menggelar konferensi pers di kantor Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Selasa (20/11).

“Tak diragukan lagi, tindakan ini bentuk kebijakan dan kepemimpinan gagal, yang terus-menerus dipertontonkan SBY pada publik,” demikian penilaian Siti Maemunah (Mae) dari JATAM.

Mae mengingatkan bahwa publik telah memperkarakan UU No. 19/2004 yang mengamandemen pasal 38 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU tersebut memungkinkan sejuta hektar hutan lindung diubah menjadi kawasan keruk. Meskipun Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan UU tersebut, tapi keputusan ini memberikan preseden, setelah kasus ini tak boleh lagi ada tambang di hutan lindung. “Menteri Kehutanan tampaknya hilang ingatan,” lanjut Mae, ”Putusan MK tanggal 7 Juli 2005 itu juga memandatkan dibuatnya peraturan lebih ketat untuk memastikan pertambangan terbuka tidak menimbulkan dampak besar bagi lingkungan dan rakyat. Sayangnya, setelah ditekan pelaku tambang dan sejawatnya di kabinet, MS Kaban melunak. Kebijakan tukar guling kawasan hutan lindung yang akan ditambang diganti dengan lahan pengganti dua kali lipat, akan diganti dengan PNBP.” Menurut Mae, Peraturan Pemerintah tentang PNBP ini sedang dalam proses pembuatan di Setneg.

Sementara Torry Kuswardono dari WALHI menyayangkan sikap SBY yang pura-pura lupa bahwa hutan Indonesia dalam kondisi kritis, dengan angka deforestasi tertinggi di dunia, 2 juta ha per tahun. “Menteri hingga para bupati dibiarkan mengeluarkan ratusan perizinan baru batubara dan mineral, banyak yang tumpang tindih dengan hutan lindung,” kecam Torry.

Masalah Hutan dan Emisi Karbon

Di saat yang sama, Indonesia berkomitmen mendukung berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, lewat pengurangan emisi dari perusakan dan degradasi hutan. Ironisnya, komitmen tersebut tak bergigi jika berhadapan dengan perusahaan tambang, salah satu buktinya rencana keluarnya PNBP.

“Padahal, hanya dari 13 perusahaan tambang yang lolos lewat UU No 19/2004 saja berpotensi melepas karbon sebesar 185-251 juta ton,” Torry memaparkan data-data. “Bayangkan berapa tambahan emisi karbon ke atmosfer jika persyaratan mengubah hutan lindung diperlunak. Hingga tahun 2001 ada 158 izin pertambangan berskala besar yang berpotensi membuka 11,4 juta ha hutan lindung yang tersisa.”

Ke-13 perusahaan tersebut tersebar dari Sumatera hingga Papua. Di Sumatera, PT Karimun Granite yang menguasai seluruh hutan lindung Pulau Karimun Kecil (Riau), PT Sorik Mas Mining yang mengancam kawasan Taman Nasional Batang Gadis (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara), dan PT Natarang Mining yang meliputi tiga provinsi (Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu) dan mengancam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Di Kalimantan, tiga perusahaan dikhawatirkan merusak hutan yang menjadi daerah tangkapan air dan berpotensi menghancurkan sungai-sungai, yaitu PT Pelsart Tambang Kencana, PT Interex Sacra Raya, dan PT Indominco Mandiri. Di Sulawesi, ada PT Inco dan PT Antam. Di Maluku Utara, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Weda Bay Nickel, dan PT Antam. Sedang di Papua, PT Gag Nikel yang mayoritas sahamnya dikuasai BHP, dan juga PT Freeport.

“Komitmen soal perubahan iklim tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” lanjut Torry, “karena produksi batubara di Kalimantan justru meningkat, demi melayani 14 negara, sedang di dalam negeri 28% dipakai untuk kebutuhan di Pulau Jawa dan Sumatera, untuk Kalimantan sendiri hanya 1%.”

Perlu Sikap Tegas Hentikan Penambangan di Hutan Lindung

Mae juga menengarai upaya perusahaan-perusahaan tambang untuk mengubah status kawasan hutan lindung, dengan mendesak pemerintah daerah mengubah RTRW, seperti terjadi di kawasan heart of Borneo. “Di Kalimantan, BHP mengajukan 7 izin pertambangan dengan asistensi WWF, seolah-olah bisa melakukan penambangan dengan mengurangi dampak rusaknya keanekaragaman hayati,” Mae menyayangkan.

Sikap dan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon ke atmosfer semestinya dijalankan konsisten dengan menghentikan alih fungsi lahan hutan tanpa pandang bulu. Sektor pertambangan adalah sektor yang juga berpotensi bersar terhadap hilangnya hutan dan lepasnya emisi karbon. Tanpa menunjukkan sikap yang tegas terhadap penghentian pertambangan di hutan lindung, Indonesia akan semakin kehilangan muka di dunia. Indonesia akan dipandang sebagai negeri mata duitan yang hanya mementingkan aliran dana tanpa kejelasan komitmen.

Tidak ada komentar: