Kamis, 26 Agustus 2010

Menolak ACFTA Lewat Nonton Film Bareng

Sumber: Majalah Publik, Edisi II (Agustus-September 2009)

Media film sungguh bermanfaat untuk mengangkat permasalahan masyarakat. Setelah tercerahkan oleh pemutaran film “The Corporation”, pada Jumat (16/4) selepas isya di pelataran kampus Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), kalangan intelektual, dosen dan mahasiswa, bersama para aktivis buruh dari Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (FSP KEP) SPSI yang memilih mendiskusikan apa dan bagaimana dampak ACFTA yang per 1 Januari 2010, resmi berjalan pada jalur normal (normal track) dengan seluruh tarif bea masuk di-nol-persen-kan.

Dodi Mantra, pengajar di Prodi HI UAI, mengungkapkan strategi “tendang tangga” China dalam meraih pertumbuhan ekonomi agar tidak dikejar oleh para pesaingnya. Sedangkan Muhammad Rahman Salim, aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa HI Indonesia (FKMHII) yang juga peneliti di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian (PSPP) UAI, meyakini bahwa ACFTA dapat ditangkal sebagaimana serangan peluru kendali pun bisa dihadapi melalui penangkalan (deterrence). Di akhir acara, dibacakan Maklumat Sisingamangaraja sebagai bentuk penolakan terhadap ACFTA dan menyuarakan desakan agar DPR segera membentuk Pansus ACFTA beserta badan pengawasnya.

Selain kalangan kampus, di pedesaan kaki Gunung Salak, tepatnya desa Cihideung Udik, Ciampea, para anak muda berlatar belakang petani pun tak kalah rasa ingin tahunya mengenai dampak ACFTA terhadap rakyat. Melalui media film, mereka yang tergabung dalam Komunitas Layar Tancap Ciampea pada Sabtu malam (17/4) kembali memutar “The Corporation”, film dokumenter besutan Mark Achbar. Film yang membongkar borok-borok korporasi ini, mengidentifikasi gejala-gejala psikopat yang diidap oleh korporasi.

Menjelang perayaan Hari Buruh Sedunia, komunitas Sanggar Bapontar-Saung Awi memfasilitasi kalangan seniman yang tergabung dalam Front Kebudayaan Nasional (FKN) menggelar malam seni (31/4), disertai pemutaran film “Laskar Pelangi” bagi anak-anak penduduk sekitar sanggar. Malam itu berbagai elemen FKN mengekspresikan penolakan ACFTA dan mengkampanyekan “Cintai Produk Nasional” melalui lagu-lagu, musikali puisi dan monolog. Besoknya (1/5), sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum buruh, FKN mengarak ogoh-ogoh ke depan gedung DPR Senayan dan menampilkan teaterikal yang menggambarkan beratnya beban ACFTA bagi rakyat.

Kalangan buruh yang gencar melancarkan aksi-aksi penolakan ACFTA juga menggelar pemutaran film “New Rulers of the World” di halaman sekretariat DPC SPSI Bekasi pada Sabtu malam (19/6). Ditemani bajigur dan gorengan, lebih dari 50 pengurus tingkat basis disuguhi tontonan yang menggambarkan eksploitasi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) terhadap kaum buruh Indonesia. Begitu ekstremnya, sehingga gaji satu bulan seorang buruh hanya sanggup untuk membeli tali sepatu yang diproduksinya sendiri. Dalam film tersebut, John Pilger mengungkapkan betapa globalisasi melahirkan utang, privatisasi dan kesengsaraan bagi rakyat negara-negara berkembang.

Ketua FSP KEP R. Abdullah mengkhawatirkan dampak globalisasi yang kini mewujud dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (FTA) terhadap generasi mendatang. “Anak-anak kita akan menjadi antrean pencari kerja,” demikian kekhawatirannya. Revitriyoso Husodo, Program Officer Kampanye dan Jaringan IGJ yang juga koordinator Koalisi Rakyat Tolak ACFTA, mengungkapkan ambiguitas pemerintah yang berniat meningkatkan daya saing dalam rangka menghadapi FTA, tapi malah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), disusul kemudian dengan BBM dan gas elpiji. Pengusaha terpaksa melakukan penghematan produksi yang berujung pada penurunan tingkat kesejahteraan buruh, bahkan PHK massal.(sudi)

Selengkapnya......

Senin, 26 April 2010

Orasi Budaya Revitriyoso Husodo: “Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global”

Sumber: Majalah Publik, Edisi II (Agustus-September 2009)


Individualisme vs Kolektivisme

Dalam orasi yang disampaikan di depan seratusan mahasiswa Al-Azhar dan perwakilan beberapa kampus lainnya, Revitriyoso Husodo memberikan paparan mulai dari menjelaskan bagaimana munculnya paham individualisme, yang bertentangan dengan semangat kolektivisme. Fakta-fakta kekinian menunjukkan Bill Gates meraih keuntungan lebih dari 5.000 dolar tiap detik, artinya dia merugi kalau harus membungkukkan badan untuk memungut uang 100 dolar yang jatuh di jalan. Di sisi lain setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan, sedangkan setiap ekor sapi di Eropa mendapat subsidi 2,2 dolar tiap hari, lebih tinggi dari pendapatan dari 1,2 milyar rakyat miskin di dunia.

Sejak masa purbakala, barangkali sejak zaman Kabil dan Habit, atau sejak Cro Magnon menyapu bersih Neanderthal sekitar satu juta tahun yang lalu, yang menjadi cikal bakal Homo sapiens, sifat keserakahan dan saling bantu menjadi dua kutub yang selalu berperang demi pertahanan diri umat manusia. Setelah berakhirnya Perang Salib, di Eropa bangkit Renaisans, juga Reformasi Protestan yang digerakkan Martin Luther. Nilai-nilai individualisme menyebar, melahirkan liberalisme, merkantilisme, kompetisi habis-habisan, dan membenarkan sistem penindasan, atas nama glory, gold, and god. Hingga lahirlah Revolusi Industri.

Berbagai spektrum gerakan muncul sebagai resistensi terhadap kebangkitan paham individualisme. Sosialisme memberikan tanggapan terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan revolusi industri. Marx tidak menganggap revolusi dapat terwujud lewat penggantian struktur ekonomi saja, tetapi harus diiringi oleh perjuangan politik kaum buruh-tani menghimpun diri dalam sebuah partai revolusioner. Marxisme sebagai kekuatan besar ideologi dunia terpecah menjadi tiga kelompok besar: (1) Komunisme, atau Marxisme-Leninisme yang dianut mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme Demokrat (Eduard Bernstein) lahir di Jerman dengan ciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, muncul pada 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa.

Di kutub yang lain, anarkisme (a = tidak, tanpa, nihil, negasi; archos/archein = pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani) mencita-citakan tatanan sosial tanpa pemerintahan. “Dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia”, menurut Peter Kropotkin. “Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas”, menurut Errico Malatesta. Tokoh terbesar aliran anarkisme lainnya, Pierre Joseph Proudhon. Anarkisme sendiri banyak ragamnya, seperti: anarko-sindikalisme, anarkisme individualisme, post-anarchism (anarkisme klasik post-strukturalis), anarki pasca-kiri, anarko-feminisme, eko-anarkisme dan anarkisme hijau, serta anarkisme insureksioner. Metode-metode perjuangan khas anarkis adalah aksi serentak, DIY (Do It Youself), berkarya dan solidaritas. Seperti tampak dalam gerakan kelompok Black Bloc pada aksi protes pertemuan WTO di Seattle (1999), demonstrasi “Millions for Mumia Abu-Jamal”, dan KTM WTO ke7, Geneva Swiss (2009). Di Indonesia, gerakan anarkis paling besar adalah JAFNus (Jaringan Anti Fasis Nusantara) yang tersebar di 50 kota, mengusung isu-isu anti-Orde Baru, anti-IMF dan isu-isu buruh, petani dan kebudayaan.

Gerakan sosial terfragmentasi menjadi gerakan sosial lama yang semata-mata memperjuangkan perubahan tatanan ekonomi, sedang gerakan sosial baru (New Social Movement) mengusung isu-isu HAM, lingkungan, gender dan budaya.

Tabel 1. Evolusi konsep masyarakat sipil

Locke, Hobbes, Rousseau

Masyarakat sipil = masyarakat politik = Negara

Hegel, Marx

* Masyarakat sipil = masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Gramsci, Tocqueville

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Cohen, Arato

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik
* Negara


Neoliberalisme dan Globalisasi Perlawanan

Problem pokok neoliberalisme dapat disederhanakan dalam tiga aspek. Pertama, aspek ekonomi: penghapusan subsidi kebutuhan pokok dan proteksi pasar di-nol-persen-kan. Kedua, aspek politik: tekanan negara-negara maju, menghilangkan intervensi pemerintah di bidang ekonomi, dan penguatan alat-alat represi rakyat. Ketiga, aspek budaya: individualisme, eksistensialisme, konsumerisme, melalui media massa, dan pembelokan isu perang agama.

Neoliberalisme sekarang mewujud dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement, FTA). Indonesia telah melibatkan diri dalam berbagai FTA seperti AFTA (ASEAN FTA), AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand FTA), AKFTA (ASEAN-Korea FTA), IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement), ACFTA (ASEAN-China FTA), dan beberapa yang sedang dalam tahap negosiasi seperti ASEAN-EU FTA, Indonesia-US FTA, ASEAN-India FTA, dan Indonesia-EFTA (Swiss, Liechtenstein, Norwegia dan Islandia). Dengan pemberlakuan ACFTA, impor baja dari China pada 2010 diprediksi meroket 170,76% dibandingkan dengan realisasi impornya pada 2009, dari 554.000 ton menjadi 1,5 juta ton. Pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik turun dari 57% pada 2005 menjadi 23% pada 2008, termasuk juga mengancam produksi domestik bagi kosmetik dan jamu nasional seperti yang disampaikan oleh PERKOSMI (Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia). Dampaknya, 4,5 juta pekerja/buruh bakal terkena PHK pada 2010. Awal Maret 2010 sudah mencapai 68.332 orang yang terkena PHK dan 27.860 orang dirumahkan.

Globalisasi perlawanan menjadi tanggapan terhadap neoliberalisme. Di Eropa, gerakan mengambil bentuk kelompok-kelompok sipil penekan. Di Amerika Latin, terjadi gelombang pengambilalihan kekuasaan disusul dengan nasionalisasi industri. Di Dunia Islam berupa pertentangan Islam dengan kapitalisme, dipicu oleh peristiwa WTC 11 September 2001. Kelompok-kelompok yang cukup sukses seperti gerakan petani tak bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, gerakan Zapatista di Meksiko, dan aksi penolakan KTM ke-6 WTO di Hongkong oleh ribuan buruh migran Indonesia (2006). Terbentuk pula jaringan perlawanan sosial global, ditandai dengan penyatuan dua konfederasi buruh terbesar, diselenggarakannya Forum Sosial Dunia, pembentukan jaringan petani internasional La Via Campesina, atau jaringan lain seperti Our World Is Not For Sale dan APNFS.

Di Indonesia, gerakan masyarakat sipil bisa dirunut dalam sejarah dimulai dari pasca-perang para keluarga raja. Dari organisasi ronda Rekso Rumekso berevolusi menjadi gerakan massa terbesar Sarekat Islam, membangkitkan pergerakan ideologis dan berujung pada kemerdekaan semu 1945 dalam bayang-bayang Perang Dingin. Indonesia menjadi korbannya, hanya menjadi negara bagian imperialisme. Gerakan terpecah-pecah, sebagian di antaranya menjadi gerakan politis-ideologis menentang neoliberalisme, dengan tuntutan minimal proteksionisme dan solidaritas antarbangsa. Tuntutan perlawanan ekonomi: (1) subsidi kebutuhan rakyat; (2) industrialisasi nasional; (3) proteksi ekonomi nasional. Perlawanan politik: (1) mengembangkan politik independen; (2) membangun solidaritas internasional; (3) memengaruhi kebijakan agar mengarah pada kepentingan rakyat. Perlawanan budaya: (1) membangun semangat kolektivitas; (2) mengkritisi budaya individualistik-liberal; (3) mengikis budaya konsumeristik; (4) membangun ruang-ruang ekspresi independen.

Yang harus dilakukan oleh gerakan adalah memasalkan pendidikan politik-ekonomi budaya rakyat, pengorganisiran (sektoral dan kelas sosial), pembangunan pressure group, pembangunan gerakan sektoral, pensinergian gerakan antar sektor yang termaju (buruh, tani, kaum kiskin kota, mahasiswa, gerakan budaya dan adat), masyarakat ekonomi bekerja sama dengan masyarakat politik, perubahan kebijakan/pelurusan kekuasaan rakyat dan pembangunan ekonomi rakyat.

Wacana Kebangsaan dan Peran Kaum Intelektual

Dalam diskusi di kalangan mahasiswa, mengemuka wacana soal kebangsaan. Seorang penanggap mempertanyakan dikotak-kotakkannya bangsa Indonesia dalam sektor-sektor masyarakat seperti kaum buruh, petani, mahasiswa dan kaum miskin kota. Ia juga mengkritik seruan aksi yang dilontarkan Dekan FE Prof. Suyuti, bahwa demonstrasi hanyalah salah satu metode perjuangan, lebih penting adalah diskusi. Dua orang penanggap lain menepis klaim bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah selesai. Indonesia adalah multibangsa sebelum kemudian bergabung secara sukarela menjadi satu bangsa pada 20 Oktober 1928, dan menjadi negara pada 17 Agustus 1945. Tetapi capaian kemerdekaan 1945 itu dihancurkan pada 1966. “Bapak Dekan FE tadi itu sudah melangkah jauh, tapi kita anak-anak muda masih dipecah-belah, belum bersatu, hanya dipersatukan oleh bangsa,” tandas si penanggap.

“Pemerintahan ini tidur bertahun-tahun!” Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Al-Azhar Indonesia (FE-UAI) Prof. Suyuti Hasibuan, PhD mengungkapkan kegeramannya menyikapi diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA), dalam kuliah umum bertajuk “Orasi Budaya: Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global” yang diselenggarakan Institute for Global Justice (IGJ) bekerja sama dengan Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Prodi HI FISIP) UAI dan Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia Koordinator Wilayah II DKI Jakarta dan Banten (FKMHII Korwil II), Jumat 9 April 2010.

Kesepakatan ACFTA ditandatangani di Phnom Penh pada 4 November 2002, tapi pemerintah dan pengusaha baru mempersoalkan belakangan. “Sekarang malah minta-minta ‘sedekah’, minta diundur,” lanjut Prof. Suyuti, menunjuk pada Joint Commission Meeting di Yogyakarta, 3 April 2010. Kalangan akademik Al-Azhar diminta tidak berdiam diri, kalau perlu mendemo Departemen Perdagangan dan KADIN.

Sementara itu, Pak Chandra dari SPSI KEP (Kimia, Energi dan Pertambangan) mengingatkan kalangan mahasiswa akan sistem free market labour yang mempermudah rekrutmen pekerja, sekaligus mempermudah PHK. Dengan adanya FTA, akan masuk tenaga-tenaga dokter dari Filipina, mereka sudah mendapat ekstrakurikuler bahasa Indonesia, artinya siap masuk ke Indonesia. Sebagai konsumen kesehatan memang kita mendapat layanan lebih baik, tapi kita harus bersaing. Di sektor IT, akan masuk dari India, karena diiming-iming gaji 1,5 juta tanpa lembur dan bonus motor. Pasar tenaga kerja tergerus, banyak yang jadi sektor informal (home industry). Pasar dengan pekerjaan tidak tetap dibedakan dua: kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) dan long life time employment. Pada kenyataannya, pengawasan lemah, magang yang seharusnya maksimal 6 bulan bisa jadi bertahun-tahun.

Menanggapi perdebatan, Revi menegaskan posisi sentral kampus sebagai dunia ide dengan satu titik kesadaran akan bahaya FTA. Rencana kedatangan Perdana Menteri China ke Indonesia dan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010 bisa dijadikan momentum untuk mendesak dibentuknya Pansus FTA di DPR dengan kontrol mahasiswa dan rakyat. Dodi Mantra dari Program Studi HI FISIP Al-Azhar memaparkan kajiannya tentang ACFTA, diketahui bahwa yang diekspor Indonesia sebagian besar berupa bahan mentah, sedang impornya berupa produk manufaktur. Posisinya merugikan bangsa Indonesia. Sementara Wakil Rektor III Al-Azhar Dr. Ir. Ahmad H. Lubis, M.Sc mengungkapkan sisi lain bagaimana China mampu mempersiapkan human capital, dan mahasiswa Hubungan Internasional Al-Azhar saat ini disiapkan untuk mampu berkiprah dalam era globalisasi. M. Rahman Salim dari Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian (PSPP) Al-Azhar kembali menegaskan peran mahasiswa sebagai gerakan intelektual dalam resistensi terhadap globalisasi dan ACFTA. (sudi)

Selengkapnya......

Rabu, 27 Januari 2010

Selamatkan Listrik Rakyat dari Liberalisasi

Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 268 Tahun VI – 2010

Oleh Sudiarto *

Warga Jakarta dan sekitarnya masih dihantui oleh pemadaman listrik yang tiba-tiba oleh Perusaahaan Listrik Negara (PLN). Pelayanan listrik yang buruk ini dimulai paska gardu induk PLN Cawang terbakar pada 29 September tahun lalu. Banyak perkantoran terkena imbasnya dan terpaksa memulangkan pekerjanya lebih awal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang mencatat kerugian hingga Rp 10 miliar per hari khususnya di sektor industri tekstil dan plastik. Industri konveksi di Jelambar, Jakarta Barat, terpaksa berhenti beroperasi selama listrik padam, dan para pekerja borongannya pulang kampung karena menganggur. Pemadaman listrik juga mengganggu distribusi air bersih oleh dua perusahaan air minum Jakarta, Aetra dan PAM Lyonnaise Jaya (Kompas.com, 12/11/2009). PLN bahkan terpaksa menyewa genset untuk dipakai di sejumlah rumah sakit, sekolah, kampus, pasar induk dan kantor polisi serta tangsi militer (Pos Kota Online, 30/9/2009).

Terbakarnya gardu induk Cawang bukan satu-satunya peristiwa gangguan penyaluran listrik PLN di Jabotabek. Tepat satu hari sebelumnya, trafo interbus di gardu induk Kembangan, Jakarta Barat, juga terbakar (Pos Kota Online, 28/9/2009), disusul terbakarnya trafo PLTGU Muara Karang pada 9 November 2009. Ditambah dengan jadwal pemeliharaan di gardu induk Gandul, maka kemampuan PLN untuk menyalurkan listrik ke wilayah Jakarta pun menurun drastis. Pemadaman listrik bergilir menjadi jawaban yang paling mungkin dilakukan PLN.


Krisis listrik yang sebelumnya sangat dirasakan di luar Jakarta, khususnya di Luar Jawa dan Bali, kini tiba-tiba menghampiri pusat kekuasaan. Kelas menengah perkotaan ibukota yang selama ini menjadi barometer kesadaran politik Indonesia mulai merasakan kekesalannya, sebagaimana tampak dengan munculnya berbagai grup di situs jejaring sosial Facebook yang menggugat soal pemadaman listrik dan kinerja PLN. Bahkan akhirnya persoalan ini menjadi bahasan istana pada rapat kabinet terbatas, Selasa (17/11/2009). Menurut Presiden SBY, jika PLN tidak sanggup memperbaiki kinerjanya, swasta akan diberi peluang untuk berperan di ketenagalistrikan.

Namun, tampaknya SBY pura-pura lupa, bahwa Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) yang baru disahkan pada bulan September lalu memang telah memangkas kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana diamanatkan dalam UU Ketenagalistrikan sebelumnya (UU No 15/1985). Dalam UUK yang baru, daerah diperbolehkan mengoperasikan sendiri pembangkit, transmisi dan distribusi listrik hingga penjualan ke konsumen. Demikian pula dengan pihak swasta, sehingga menghilangkan monopoli PLN.

Keterlibatan swasta dalam usaha ketenagalistrikan sebetulnya sudah dimulai pada 1998, dikenal dengan sebutan Independence Power Producers (IPPs), seperti PT Cikarang Listrindo. Hanya saja, semua energi listrik yang dibangkitkan harus dijual kepada PLN sebagai satu-satunya pembeli (single buyer), kecuali jika mereka memiliki grid (jaringan) sendiri di luar grid PLN. Menurut Ahmad Daryoko, ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, model liberalisasi ketenagalistrikan yang dianut oleh UUK yang baru – dan sebetulnya juga sempat muncul dalam UUK 2002 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi – adalah dengan cara memecah PLN (unbundling). Sistem kelistrikan Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang sudah terintegrasi secara vertikal kini akan dipecah-pecah secara vertikal pula dengan banyak perusahaan menguasai pembangkit, transmisi, distribusi, dan ritel. Karena grid PLN menjadi bancakan banyak pihak, proses bisnis yang berkali-kali menyebabkan nilai pajak pun berlipat-lipat, dampaknya ke konsumen adalah tarif listrik yang jauh lebih mahal dari tarif dasar listrik (TDL) sekarang. Subsidi yang selama ini dinikmati rakyat – di mana rakyat hanya membayar Rp 650,00 per kWh dari biaya produksi Rp 2.600 per kWh – tak lagi bisa dinikmati, jika nantinya pembangkit dijual ke asing. Anak perusahaan PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), dikabarkan akan segera dijual kepada asing.

Pola kartel sangat mungkin terjadi di antara banyak perusahaan, akibatnya pada beban puncak (peak load) pasokan listrik (supply) bisa saja tidak memenuhi permintaan (demand), dan pada titik ekstremnya terjadi blackout. Negara bagian California di Amerika Serikat memulai liberalisasi pada 1996 dan terjadi blackout masif pada 2000-2001, di Brazil privatisasi pada 1992 menciptakan 10 hari blackout pada 1999 dan 3 bulan pada 2001. Sedangkan di Selandia Baru privatisasi pada 1986 diikuti dengan blackout pada 1998.

Untuk menjawab persoalan krisis listrik, pemerintah menjanjikan akan melakukan percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap kedua berbasiskan batubara, dengan dominasi swasta (IPP) yang sangat kuat. Dengan adanya UUK yang baru, PLN hanya akan menjadi salah satu pemain di antara banyak perusahaan swasta dan asing. Ibaratnya seperti Pertamina dan ritel migas asing (Shell, Petronas, Total). Pemerintah tak punya lagi kewenangan untuk mengontrol, tarif dasar listrik sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Energi listrik sebagai hajat hidup orang banyak tak lagi dikuasai negara dan tak lagi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melainkan untuk sebesar-besarnya profit.

Setelah sekarang dihantam pemadaman bergilir, berikutnya, rakyat akan dikenai tarif berlipat-lipat untuk dapat menikmati listrik. Di sisi lain, industrialisasi sangat bergantung pada energi listrik yang murah. Dengan tarif listrik yang membumbung, biaya produksi akan dibebankan kepada konsumen, dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang lebih murah. Slogan PLN, “Listrik untuk kehidupan yang lebih baik,” sepertinya hanya akan tinggal kata-kata manis belaka.

* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Selengkapnya......