Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 268 Tahun VI – 2010
Oleh Sudiarto *
Warga Jakarta dan sekitarnya masih dihantui oleh pemadaman listrik yang tiba-tiba oleh Perusaahaan Listrik Negara (PLN). Pelayanan listrik yang buruk ini dimulai paska gardu induk PLN Cawang terbakar pada 29 September tahun lalu. Banyak perkantoran terkena imbasnya dan terpaksa memulangkan pekerjanya lebih awal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang mencatat kerugian hingga Rp 10 miliar per hari khususnya di sektor industri tekstil dan plastik. Industri konveksi di Jelambar, Jakarta Barat, terpaksa berhenti beroperasi selama listrik padam, dan para pekerja borongannya pulang kampung karena menganggur. Pemadaman listrik juga mengganggu distribusi air bersih oleh dua perusahaan air minum Jakarta, Aetra dan PAM Lyonnaise Jaya (Kompas.com, 12/11/2009). PLN bahkan terpaksa menyewa genset untuk dipakai di sejumlah rumah sakit, sekolah, kampus, pasar induk dan kantor polisi serta tangsi militer (Pos Kota Online, 30/9/2009).
Terbakarnya gardu induk Cawang bukan satu-satunya peristiwa gangguan penyaluran listrik PLN di Jabotabek. Tepat satu hari sebelumnya, trafo interbus di gardu induk Kembangan, Jakarta Barat, juga terbakar (Pos Kota Online, 28/9/2009), disusul terbakarnya trafo PLTGU Muara Karang pada 9 November 2009. Ditambah dengan jadwal pemeliharaan di gardu induk Gandul, maka kemampuan PLN untuk menyalurkan listrik ke wilayah Jakarta pun menurun drastis. Pemadaman listrik bergilir menjadi jawaban yang paling mungkin dilakukan PLN.
Krisis listrik yang sebelumnya sangat dirasakan di luar Jakarta, khususnya di Luar Jawa dan Bali, kini tiba-tiba menghampiri pusat kekuasaan. Kelas menengah perkotaan ibukota yang selama ini menjadi barometer kesadaran politik Indonesia mulai merasakan kekesalannya, sebagaimana tampak dengan munculnya berbagai grup di situs jejaring sosial Facebook yang menggugat soal pemadaman listrik dan kinerja PLN. Bahkan akhirnya persoalan ini menjadi bahasan istana pada rapat kabinet terbatas, Selasa (17/11/2009). Menurut Presiden SBY, jika PLN tidak sanggup memperbaiki kinerjanya, swasta akan diberi peluang untuk berperan di ketenagalistrikan.
Namun, tampaknya SBY pura-pura lupa, bahwa Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) yang baru disahkan pada bulan September lalu memang telah memangkas kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana diamanatkan dalam UU Ketenagalistrikan sebelumnya (UU No 15/1985). Dalam UUK yang baru, daerah diperbolehkan mengoperasikan sendiri pembangkit, transmisi dan distribusi listrik hingga penjualan ke konsumen. Demikian pula dengan pihak swasta, sehingga menghilangkan monopoli PLN.
Keterlibatan swasta dalam usaha ketenagalistrikan sebetulnya sudah dimulai pada 1998, dikenal dengan sebutan Independence Power Producers (IPPs), seperti PT Cikarang Listrindo. Hanya saja, semua energi listrik yang dibangkitkan harus dijual kepada PLN sebagai satu-satunya pembeli (single buyer), kecuali jika mereka memiliki grid (jaringan) sendiri di luar grid PLN. Menurut Ahmad Daryoko, ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, model liberalisasi ketenagalistrikan yang dianut oleh UUK yang baru – dan sebetulnya juga sempat muncul dalam UUK 2002 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi – adalah dengan cara memecah PLN (unbundling). Sistem kelistrikan Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang sudah terintegrasi secara vertikal kini akan dipecah-pecah secara vertikal pula dengan banyak perusahaan menguasai pembangkit, transmisi, distribusi, dan ritel. Karena grid PLN menjadi bancakan banyak pihak, proses bisnis yang berkali-kali menyebabkan nilai pajak pun berlipat-lipat, dampaknya ke konsumen adalah tarif listrik yang jauh lebih mahal dari tarif dasar listrik (TDL) sekarang. Subsidi yang selama ini dinikmati rakyat – di mana rakyat hanya membayar Rp 650,00 per kWh dari biaya produksi Rp 2.600 per kWh – tak lagi bisa dinikmati, jika nantinya pembangkit dijual ke asing. Anak perusahaan PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), dikabarkan akan segera dijual kepada asing.
Pola kartel sangat mungkin terjadi di antara banyak perusahaan, akibatnya pada beban puncak (peak load) pasokan listrik (supply) bisa saja tidak memenuhi permintaan (demand), dan pada titik ekstremnya terjadi blackout. Negara bagian California di Amerika Serikat memulai liberalisasi pada 1996 dan terjadi blackout masif pada 2000-2001, di Brazil privatisasi pada 1992 menciptakan 10 hari blackout pada 1999 dan 3 bulan pada 2001. Sedangkan di Selandia Baru privatisasi pada 1986 diikuti dengan blackout pada 1998.
Untuk menjawab persoalan krisis listrik, pemerintah menjanjikan akan melakukan percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap kedua berbasiskan batubara, dengan dominasi swasta (IPP) yang sangat kuat. Dengan adanya UUK yang baru, PLN hanya akan menjadi salah satu pemain di antara banyak perusahaan swasta dan asing. Ibaratnya seperti Pertamina dan ritel migas asing (Shell, Petronas, Total). Pemerintah tak punya lagi kewenangan untuk mengontrol, tarif dasar listrik sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Energi listrik sebagai hajat hidup orang banyak tak lagi dikuasai negara dan tak lagi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melainkan untuk sebesar-besarnya profit.
Setelah sekarang dihantam pemadaman bergilir, berikutnya, rakyat akan dikenai tarif berlipat-lipat untuk dapat menikmati listrik. Di sisi lain, industrialisasi sangat bergantung pada energi listrik yang murah. Dengan tarif listrik yang membumbung, biaya produksi akan dibebankan kepada konsumen, dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang lebih murah. Slogan PLN, “Listrik untuk kehidupan yang lebih baik,” sepertinya hanya akan tinggal kata-kata manis belaka.
* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Rabu, 27 Januari 2010
Selamatkan Listrik Rakyat dari Liberalisasi
Senin, 02 November 2009
Facebook dan Kesadaran Politik yang (bakal) Menguap
Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 247 Tahun V – 2009
Oleh Sudiarto *
Sejak booming pada awal 2009, Facebook kini menjadi situs jejaring sosial terbesar di Indonesia dengan jumlah akun mencapai 10 juta orang (Republika Online, 29 Oktober 2009). Jejaring sosial yang semula dibuat oleh Mark Zuckenberg pada pertengahan 2004 untuk komunitas mahasiswa di kampusnya, Harvard College (Amerika Serikat), kemudian menjadi bisnis yang mendunia.
Kritisi media menyebut fenomena Facebook sebagai “kapitalisme informasi” yang menginvasi kehidupan sosial, menjadikan sesuatu yang privat menjadi publik. Berbeda dengan situs jejaring sosial populer pendahulunya, Friendster, desain Facebook lebih sederhana tetapi ditunjang dengan banyaknya fitur dalam satu halaman. Meng-update status dan memberi komentar dengan spontan menjadi keunggulan Facebook, di samping fitur chatting yang tidak tersedia pada layanan Friendster.
Kehadiran Facebook di Indonesia dengan tampilan barunya, bersama meluasnya penjualan Blackberry dan smartphone sejenisnya, bertepatan dengan hajatan besar Pemilu 2009. Media massa menyebut-nyebut keberhasilan tim kampanye Barack Obama memanfaatkan Facebook dalam memenangkan pemilihan presiden AS pada November 2008. Di Indonesia, perubahan dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak dalam pemilu lalu memberi dorongan bagi para caleg berlomba-lomba mengkampanyekan diri, dan Facebook menjadi sarana yang tepat untuk berkampanye di dunia maya. Fitur page memberi kesempatan bagi para caleg mempromosikan diri dan menggalang fans sebanyak-banyaknya, di samping tentu saja lewat akun pribadi. Meskipun tidak berkorelasi langsung dengan perolehan suara, banyak caleg yang sudah lebih dulu populer juga menggunakan Facebook untuk meningkatkan nilai jualnya.
Di sisi lain, para aktivis dan “mantan aktivis,” menemukan sarana baru untuk menuangkan unek-uneknya melalui Facebook. Baik melalui fitur unggulan update status dan komentar, maupun fitur-fitur seperti catatan (notes), tautan (link), foto dan grup. Mengkampanyekan program-program gerakan maupun saling berdebat dan mencela, dengan sarkasme yang paling vulgar sekalipun.
Sifat guyub bangsa Indonesia menemukan salurannya di media baru jejaring sosial ini. Facebook, sesuai slogannya, mempertemukan kembali sahabat yang lama tak berjumpa, teman-teman kuliah dan semasa sekolah. Meng-upload foto-foto lama, dengan potongan rambut dan dandanan jadul, disertai penandaan (tag) untuk mengajak teman-teman melihatnya, menjadi sensasi tersendiri untuk bernostalgia. Setelah saling meng-add teman, berbalas komentar, kemudian merancang jadwal reuni di mal-mal. Ketika bencana gempa melanda selatan Jawa Barat dan Sumatera Barat, Facebook menjadi sarana untuk menggalang solidaritas. Dari sekadar ucapan simpati dan saling menanyakan kabar keluarga teman-teman, hingga aksi penyaluran bantuan langsung ke lapangan.
Tidak berhenti sekadar ajang silaturahmi dan media kampanye, Facebook juga menjadi sarana untuk penggalangan dukungan – “aksi dunia maya.” Jika sebelumnya dikenal model petisi online, kali ini kalangan blogger yang tersentak dengan penahanan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang mengeluhkan layanan di sebuah rumah sakit melalui media email, membuat grup dukungan di Facebook. Dalam hitungan jam sejak grup dibuat, dukungan mengalir deras, puluhan ribu pengguna Facebook mendaftar menjadi anggota grup – bertambah terus hingga ratusan ribu dalam hitungan hari – dan memberikan berbagai pernyataan dukungan. Ketika televisi masih sibuk menyiarkan gosip Manohara, gencarnya dukungan terhadap Prita melalui grup Facebook membuat dua capres rival SBY – Megawati dan Jusuf Kalla – bersimpati dan menyerukan pembebasan. Prita pun dibebaskan, meskipun hanya penangguhan penahanan.
Keberhasilan grup Facebook dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa kembali ditunjukkan dalam penggalangan dukungan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditahan oleh Mabes Polri, Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah. Rivalitas antara lembaga kepolisian dan KPK yang sudah berlangsung beberapa bulan meledak ketika tersebar transkrip rekaman pembicaraan untuk merekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK. Presiden SBY yang baru saja terpilih untuk masa jabatan kedua terus bersikap membiarkan fungsi KPK dilemahkan. Sikap kepala batu Kapolri dan Presiden menuai protes luas dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam sehari, grup dukungan terhadap Bibit dan Chandra meraih seratus ribu anggota Facebook, dan terus bertambah.
Apakah Facebook sebagai sebuah media komunikasi sosial akan menunjukkan ketangguhannya, dan menjadi musuh penguasa, sebagaimana terjadi di Iran pada pemilihan presiden lalu? Karena ketakutan bahwa capres dari kalangan reformis bakal meraih dukungan luas dari kalangan muda, pemerintahan konservatif Iran memblokir berbagai situs terutama Twitter dan Facebook. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan kemampuan teknologi komunikasi mendorong perubahan sosial. Keruntuhan Blok Timur dan bubarnya Uni Soviet tidak lepas dari meluasnya jaringan televisi satelit yang dipancarkan dari negara-negara Blok Barat. Begitu pula kejatuhan Suharto pada 1998 dibantu oleh penggunaan internet, khususnya milis Apakabar yang fenomenal saat itu. Mobilisasi massa untuk menjatuhkan Presiden Estrada di Filipina dilakukan dengan teknologi pesan pendek (SMS) telepon seluler.
Sebagai media komunikasi dunia maya, konten yang ditampilkan Facebook adalah cerminan dari realitas di kehidupan nyata. Jika sebelumnya cetusan-cetusan dan keluhan hanya dilampiaskan dalam umpatan dan sumpah-serapah, Facebook membuatnya telanjang, vulgar, tertampil apa adanya. Sebuah grup dukungan bisa menjadi alat ukur sederhana untuk menunjukkan tingkat kesadaran politik warga negara, meskipun terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang mampu mengakses internet. Tetapi membayangkan bahwa “aksi dunia maya” akan otomatis bertransformasi menjadi “aksi dunia nyata,” dalam bentuk aksi-aksi massa di jalan-jalan, adalah terlalu optimistik. Kehadiran Facebook memang memperluas kesadaran politik, tetapi bukan faktor penentu. Aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan politik riil-lah yang kemudian menentukan jalannya perubahan sosial. Gejolak sosial di Eropa Timur dan kejatuhan berbagai rezim tidak saja didorong oleh meluasnya media komunikasi, tetapi juga kemampuan gerakan oposisi untuk mengkanalisasinya lewat aksi-aksi massa.
Realitas politik Indonesia paska Pemilu 2009 menghasilkan sebuah rezim dengan kecenderungan menjadi bentuk baru otoritarianisme. Sejumlah kalangan menyebutnya Orde Baru jilid dua, sebagai sebuah model rezim tanpa kehadiran oposisi. Hilangnya kekuatan oposisi di parlemen dan di sisi lain masih lemah dan terpecah-pecahnya gerakan ekstra-parlementer membuat kesadaran politik yang menguat di tingkat massa-rakyat tidak menemukan kanalisasinya. Jika gerakan ekstra-parlementer tidak bahu-membahu untuk bersatu menjadi kekuatan oposisi alternatif di luar parlemen, kesadaran yang tercermin dalam “aksi dunia maya” melalui Facebook dikhawatirkan akan menguap begitu saja, menghasilkan apatisme publik.
* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Kamis, 01 Januari 2009
Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi di Indonesia
Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi), Edisi Januari 2009
Judul : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia – Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)
Cetakan : I (Januari 2008)
Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)
Menulis buku, terutama topik yang cukup serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia. Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul “Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007, memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK, dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara sendiri menanggapi situasi.
Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme, politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998 dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto, menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal. Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967 GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590, Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$ 1.500 dan Indonesia US$ 1.100!
Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan Indonesia
John Pilger, wartawan terkemuka berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris, membuat film dokumenter tentang Indonesia, The New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa, diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar...”
Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global, padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental, dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan ekonominya.
Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru, tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya (US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari bank komersial yang mengenakan persyaratan berat: berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144 triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun lebih.
Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.
Beban utang ini menggelayuti pemerintahan pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp 61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias. Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22 triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp 95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.
Profesor William R. Liddle menyebut kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja, sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329 basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29% lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan, malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis (hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.
Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%, Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana. Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas. Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala program yang meringankan beban rakyat dan lihai mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan) tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun, perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.
Jalan Baru Seperti Apa?
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan korporatokrasi global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model generik Konsensus Washington. Selama tidak ada perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi, Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat.
Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang, namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang “kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab demi bab.
Tapi, untuk memberikan gambaran apa adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya. Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.
Selengkapnya......Selamatkan Indonesia dari Cengkeraman Korporatokrasi
Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi) Edisi Januari 2009
Judul : Agenda Mendesak Bangsa - Selamatkan Indonesia!
Penulis : Mohammad Amien Rais
Penerbit : PPSK Pers (Yogyakarta)
Cetakan : II (April 2008)
Tebal : 298 halaman + xv
“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?” Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan permenungannya dalam buku ini. Mengambil perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat. Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh, yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap, yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.
Nasionalisme dangkal ini yang membuat kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan. Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan, migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.
“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanah-tanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan korporatokrasi.
Elemen-elemen Korporatokrasi
Korporatokrasi, menurut John Perkins (2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi, perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilai-nilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri. Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi. Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002) di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja, karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli, pemalsuan akuntansi, pencucian uang, perusakan lingkungan, dan sebagainya.
Kedua, pemerintahan. Meskipun secara teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan. David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah Meksiko mengeluarkan sedikitnya 25 juta dolar sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7), untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang lebih menguntungkan korporasi.
Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan internasional. Di antara banyak bank korporat, dua lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment programs).
Keempat, militer. Dalam buku The Power Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961, memperingatkan akan bahaya military-industrial complex. Contoh mutakhir bagaimana kompleks militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad, Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih “rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root), dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan juta dolar.
Kelima, media massa. Pemikir konservatif Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20 tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah “propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi. Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC (Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN (AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M, Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi. Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan, produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog (musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog (mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-elus, tidak lagi berbahaya.
Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan. Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan sasaran oleh kekuatan korporat untuk mencetak sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi. Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh universitas setelah mengalami himpitan finansial. Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan ekonomi dan politik.
Ketujuh, elite nasional bermental inlander. Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya. Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah, membuahkan kebingungan, kelembaman (inertia), dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir, berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington. Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya presidennya sendiri adalah kepala bandit.
Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa
Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara). Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing. Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington, dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi investasi (era SBY-JK).
Amien Rais menawarkan sejumlah saran demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional. Berbagai Kontrak Karya pertambangan dan KPS (Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan bangsa. Bahkan demi kepentingan pelestarian lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang, dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang (debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri.
Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur, dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan. Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa. Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum, gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO), hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang ancaman globalisasi dan korporatokrasi, sehingga diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan aktivis dan intelektual.(*)
Selengkapnya......Selasa, 27 November 2007
Saksi KLH Hanya Memantau, Tidak Memulihkan Rusaknya Kualitas Lingkungan
Sumber: Walhi
Persidangan kasus gugatan Walhi terhadap Lapindo dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/11) menghadirkan saksi terakhir dari pihak tergugat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Indarto Sutanto, yang bekerja sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), sebuah instansi di bawah KLH, bertugas melakukan pemantauan di lokasi semburan lumpur Sidoarjo sejak 10 Juni 2006.
“Tugas kami melakukan pendataan area untuk membatasi meluasnya area genangan lumpur, mengurangi jatuhnya korban dan menjaga agar objek-objek vital seperti jalan tol, sungai, saluran irigasi dan permukiman tetap berfungsi, serta memasang simbol-simbol bahaya mana-mana tanggul yang mudah longsor dan orang bisa tercebur,” Indarto menjelaskan detail penugasannya. Usul pembuatan tanggul dan kolam-kolam penampung lumpur juga datang dari tim penanggulangan lumpur di mana Indarto tergabung. “Tapi sejak Februari 2007, tim kami tidak lagi berkantor di Surabaya, posko sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian, tiap bulan sekali kami masih mengambil sampel.”
Ketika ditanya oleh hakim ketua Soedarmadji, SH mengenai surat tugas dan kaitannya dengan jabatannya, Indarto menjelaskan bahwa tugas sebagai pejabat pengawas lingkungan hidup adalah mengawasi kinerja lingkungan sebuah perusahaan, misalnya dalam pengelolaan limbah B3. “Kami melakukan verifikasi lapangan, dan membuat laporan pengawasan untuk nantinya dinilai apakah layak atau tidak perusahaan mendapat izin operasional,” kata Indarto, “Izin hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri, kami tidak berwenang soal perizinan.”
“Sebelum terjadi semburan lumpur juga sudah dilakukan pengawasan terhadap PT Lapindo Brantas?” tanya hakim ketua. “Sudah, berkaitan dengan limbah produksinya. Tapi itu tapi dilakukan oleh petugas lain,” jawab Indarto.
“Setelah terjadi semburan, apakah anda juga melakukan perbaikan kerusakan lingkungan?” tanya hakim ketua lagi. Indarto menjawab, “Tidak, kami hanya membuat rekomendasi kepada unit pemulihan kualitas lingkungan, di bawah Asisten Deputi. Pada awal terjadi semburan, kami optimis bahwa semburan bisa dihentikan. Karena itu dibuat rencana pemulihan, tapi ternyata semburan terus berlanjut. Setelah ada BPLS, unit pemulihan tidak ada lagi di lapangan. Yang ada hanya pemantauan di bawah Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan.”
Lumpur Dibuang ke Kali Porong, Surabaya bisa Banjir
Terkait dengan pembuangan lumpur ke Kali Porong, sebetulnya tim penanggulangan lumpur mempunyai usulan lain. Berdasarkan kajian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), fungsi Kali Porong antara lain untuk mencegah banjir melanda kawasan Surabaya. Jika lumpur dibuang melalui Kali Porong, dikhawatirkan lumpur akan memblok Kali Porong. Ketika musim hujan datang, Surabaya bisa terendam banjir. Karena itu menurut Indarto, diusulkan agar dibuat kanal khusus untuk mengalirkan lumpur ke laut. “Gambar rancangan teknik pembuatan kanal sudah dibuat secara sederhana oleh Timnas maupun ITS, tapi dalam kenyataannya tidak pernah direalisasikan,” kata Indarto.
Mengenai kualitas udara di lokasi semburan, Indarto mengakui tidak ada yang bisa dilakukan sehingga tim penanggulangan lumpur hanya bisa menyarankan agar menjauhi lokasi. Di kawasan ring satu semburan lumpur, sebaiknya tidak berlama-lama atau menggunakan masker pengaman. Sedangkan air lumpur sendiri langsung dibuang, tidak dilakukan pengolahan. Sebagian terlepas secara alami, ada yang masuk ke saluran irigasi sehingga air tidak dapat diminum lagi karena rasanya asin.
Di akhir persidangan, kuasa hukum pihak tergugat (KLH) mencoba menarik kesimpulan dari jawaban saksi yang diajukannya, bahwa sebagai instansi yang bertugas mengelola lingkungan hidup KLH sudah bekerja sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam kasus Lumpur Sidoarjo. “Secara garis besar, kami sudah bekerja maksimal melakukan pengawasan dan pengambilan sampel, dan membuat rekomendasi untuk jangka panjang,” jawab Indarto. Tapi dari jawaban-jawaban saksi, tugas yang dibebankan kepadanya sebagai pengawas lingkungan hidup BPLH sangat terbatas dan tidak memadai untuk kasus sebesar Lumpur Sidoarjo, dan tidak menggambarkan peran yang seharusnya diemban oleh KLH. Untuk pribadi saksi, memang sudah maksimal tugas yang dikerjakannya, tapi secara keseluruhan instansi KLH dengan banyak unitnya tidak terungkap di persidangan bagaimana perannya.
Sidang kali ini ditutup dengan mengagendakan pembacaan kesimpulan pada dua pekan mendatang.
Senin, 26 November 2007
Menteri Pertanian: Perubahan Iklim Bisa Juga Menguntungkan
Sumber: Walhi
Perubahan iklim dikhawatirkan berdampak pada persoalan ketahanan pangan di Indonesia. Selama ini ketersediaan pangan digantungkan pada daerah-daerah kantung beras terutama di Pantura Jawa, mengingat kesuburan lahannya karena terbentuk dari endapan gunung berapi. Tetapi karena letaknya yang dekat dengan laut dan dataran rendah, jika terjadi kenaikan permukaan air laut akibat pencairan es di Kutub Utara, daerah-daerah ini yang paling rawan terkena dampaknya terendam air laut. Bagaimana skema pemerintah menghadapi perkiraan ini, jika terpaksa harus memindahkan lokasi, bagaimana pula kaitannya dengan dampak perubahan suhu. Kekhawatiran ini diungkapkan Dinar Rani Setiawan, Manajer Kampanye Air dan Pangan WALHI dalam talkshow “Rakyat Bicara” di TPI, Selasa (26/11), dengan tajuk Perubahan Iklim dan Penyediaan Pangan bagi Masyarakat.
“Perubahan iklim juga bisa menguntungkan kita,” demikian tanggapan Menteri Pertanian Anton Apriantono. Contohnya, menurut Mentan, tahun 2007 Indonesia mengalami kemarau basah yang justru meningkatkan produktivitas pertanian.
Dua langkah penting yang diambil pemerintah adalah adaptasi dan mitigasi. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan iklim, pemerintah berusaha mengembangkan varietas padi yang lebih tahan terhadap salinitas serta yang tahan kekeringan. Selain itu juga dilakukan ekstensifikasi di Luar Jawa, serta pemetaan potensi varietas tanaman. Pada 2008, pemerintah berencana menambah lahan 45.000 hektar.
Pernyataan Mentan dikritisi oleh pengamat pertanian IPB, Hermanto Siregar. Dalam jangka pendek, simulasi menunjukkan memang ada benefit perubahan iklim dalam mendongkrak produktivitas. Tapi perkiraan jangka panjang terjadi penurunan produksi hingga 15 persen, dengan perincian 11 persen karena kehilangan produksi dan sisanya 4 persen karena kehilangan luas panen. Dampaknya, sekitar 32 juta jiwa akan jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Hermanto menambahkan bahwa perubahan iklim tidak dapat diprediksi dengan baik, sehingga diperlukan edukasi dan respon cepat kepada para petani, dengan melakukan penyuluhan dan kerja sama lintas departemen. Dengan Departemen Kehutanan misalnya, untuk pemanfaatan hutan-hutan yang dalam kondisi ditelantarkan. “Opportunity lost yang sangat besar,” kata Hermanto, “perlu dibuka akses kepada rakyat, dengan mempercepat reforma agraria agar ada kepastian bagi para petani penggarap, di samping akses kredit pertanian.”
Kamis, 22 November 2007
LSM Tuntut Pengusaha Penghancur Hutan Sukanto Tanoto Ditangkap
Sumber: Walhi
Kasus bebasnya Adelin Lis di persidangan PN Medan membuat geram banyak kalangan. Terbukti betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia jika harus berhadap-hadapan dengan cukong utama pelaku penghancuran hutan. Sementara di provinsi lain, praktik penghancuran hutan atas nama HPH dan HTI seperti yang dilakukan oleh RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) milik taipan Sukanto Tanoto juga harus diusut tuntas. Bahkan Sukanto Tanoto sendiri harus segera ditangkap dan diadili.
Seruan ini diteriakkan puluhan massa yang berunjuk rasa di depan kantor RAPP di Jalan Telukbetung 31 Jakarta, Kamis (22/11). Massa yang mengatasnamakan Komite Anti Penghancuran Hutan Indonesia (KAPHI) ini bergerak dari depan Bundaran Hotel Indonesia dengan membawa poster-poster antara lain berbunyi “Sukanto Tanoto Penjahat Lingkungan!” dan “Moratorium Logging Now!”
KAPHI terdiri dari sejumlah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup, pembaruan agraria, kalangan jurnalis dan penegakan HAM, yaitu WALHI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Environment Parliament Watch Jakarta, Sawit Watch, LSADI, Sarekat Hijau Indonesia, KpSHK, STN, AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria, Green Student Movement, HuMA, FPPI, SPHP dan Jikalahari Riau.
Menurut para pengunjuk rasa, industri pulp dan kertas yang dibangun Sukanto Tanoto selama ini dijalankan secara tidak berkelanjutan (sustainable), karena mengambil bahan baku dari hutan alam dan hanya sebagian kecil dari kebun HTI mereka sendiri. Kapasitas pabrik RAPP tercatat 2 juta ton per tahun, dan membutuhkan kayu sebanyak 9,46 juta meter kubik. Lebih dari 4,2 juta meter kubik per tahun (42,26%) diperoleh dari hutan alam. Praktik inin telah berlangsung lebih dari 15 tahun. Saat krisis moneter 1997, kerajaan bisnis Raja Garuda Mas (RGM), induk dari RAPP, tersangkut utang sebesar 1,14 milyar dolar akibat penyalahgunaan dan pelanggaran peraturan perbankan yang dilakukan melaluli bank miliknya sendiri, Unibank. Menggunungnya utang tidak menyurutkan langkah Sukanto Tanoto terus melakukan perluasan kapasitas industrinya, dengan menyiasati hukum di Indonesia sehingga sebagian besar utangnya ditanggung oleh Negara melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dengan demikian, Sukanto Tanoto telah melakukan kejahatan perbankan dan kejahatan lingkungan yang merugikan Negara maupun keselamatan rakyat banyak.
“RAPP menguasai 2 juta hektar lahan di Riau, itu berarti hampir tiga perempat wilayah provinsi Riau. Hanya karena satu orang, rakyat banyak dikorbankan!” kecam Syahrul (WALHI) dalam orasinya.
Sementara Pius, juga dari WALHI, mengingatkan bahwa banyak perusahaan menguras sumber daya alam sementara rakyat sekitarnya menderita banjir ketika hutan habis ditebangi. Di Jawa Timur, puluhan ribu orang kehilangan rumah karena tergenang lumpur Lapindo. Sedang di Sulawesi Utara, perusahaan pencemar lingkungan PT Newmont Minahasa Raya balik menggugat aktivis lingkungan dengan ganti rugi yang sangat besar, sama halnya dengan perusahaan pulp RAPP yang menggugat media massa, demi membungkam kritik. Wong, aktivis WALHI Riau, menandaskan bahwa tidak mungkin media mengungkap kasus tidak berdasarkan fakta.
Jika selama ini yang menjadi perhatian publik adalah soal pembalakan liar (illegal logging), Erwin (WALHI) menilai bahwa justru perusahaan-perusahaan legal-lah yang selama ini telah menghancurkan hutan. “RAPP mengambil kayu puluhan kilometer dari wilayah konsesinya,” ungkap Erwin, “tapi RAPP bilang ‘kami sah, karena dapat izin dari Menteri Kehutanan MS Kaban!’ Izin itu nyatanya dipakai untuk membabat hutan.”
Karena itu diusulkan agar pemerintah harus tegas melakukan terobosan untuk melakukan tindakan jeda tebang (moratorium logging) selama 15 tahun. Artinya, selama kurun waktu 15 tahun tak ada lagi izin konsesi dan konversi kawasan hutan baru baik untuk kepentingan perkebunan besar, HTI, HPH ataupun pertambangan besar. Sementara untuk konsesi yang telah dikeluarkan, pemerintah wajib melakukan audit menyeluruh. Izin pengambilan kayu diperbolehkan hanya untuk kepentingan non-ekspor (dalam negeri).
Orator lain dari AJI, Sawit Watch dan AMAN menyerukan tuntutan serupa. Aksi juga diwarnai penempelan stiker bertuliskan “Tangkap Sukanto Tanoto – Koruptor BLBI – Mafia Kayu Indonesia – Penggelap Pajak Negara” di pagar kantor RAPP.