Kamis, 01 Januari 2009

Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi di Indonesia

Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi), Edisi Januari 2009








Judul : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia – Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)

Cetakan : I (Januari 2008)

Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)


Menulis buku, terutama topik yang cukup serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia. Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul “Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007, memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK, dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara sendiri menanggapi situasi.

Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme, politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998 dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto, menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal. Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967 GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590, Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$ 1.500 dan Indonesia US$ 1.100!

Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan Indonesia

John Pilger, wartawan terkemuka berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris, membuat film dokumenter tentang Indonesia, The New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa, diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar...”

Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global, padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental, dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan ekonominya.

Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru, tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya (US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari bank komersial yang mengenakan persyaratan berat: berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144 triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun lebih.

Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.

Beban utang ini menggelayuti pemerintahan pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp 61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias. Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22 triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp 95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.

Profesor William R. Liddle menyebut kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja, sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329 basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29% lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan, malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis (hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.

Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%, Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana. Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas. Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala program yang meringankan beban rakyat dan lihai mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan) tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun, perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.

Jalan Baru Seperti Apa?

Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan korporatokrasi global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model generik Konsensus Washington. Selama tidak ada perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi, Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat.

Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang, namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang “kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab demi bab.

Tapi, untuk memberikan gambaran apa adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya. Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.

Tidak ada komentar: