Sumber: Detikcom
10/08/2004 16:34 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikcom
Jakarta - Masyarakat di sekitar pertambangan sulit memperoleh haknya. Selain pemerintah kurang peduli, mereka kerap harus berhadapan dengan militerisme.
Demikian ditegaskan koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Tatam), Siti Maemuna dalam sebuah diskusi bertajuk 'Belajar dari Kasus Buyat, Bagaimana Gerakan Lingkungan Menyikapinya' di auditorium Uhamka, Jl. Limau II, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2004).
"Misalnya PT. Freeport, mereka mengeluarkan Rp 50 miliar per tahun untuk membayar aparat keamanan menjaga lokasi pertambangan. Jadi bila ada warga yang bermasalah, mereka akan langsung berhadapan dengan aparat," kata Maemunah.
Lebih jauh, Maemunah mengimbau agar pemerintah lebih peduli terhadap kasus-kasus lingkungan. Salah satunya, kasus yang terjadi di Minahasa yang diduga melibatkan PT.Newmont Minahasa Raya (NMR).
"Selama ini pemerintah tidak perduli dan bahkan membiarkan masalah tersebut timbul. PT.NMR tidak memenuhi izin dalam pembuangan limbah/tailing/ (lumpur penggerusan batuan tambang). Tapi pemerintah tidak berbuat apa-apa," tutur Maemunah. (djo)
Catatan: diskusi ini aku organisir bareng kawan-kawan Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD) Komisariat Uhamka yang juga anggota Patuha dan BEM-FT Uhamka
Selasa, 10 Agustus 2004
Militerisme Juga Terjadi di Lingkungan Pertambangan
Rabu, 04 Agustus 2004
Pecinta Lingkungan Minta PT Newmont Ditutup
Sumber: Detikcom
04/08/2004 14:28 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikcom
Jakarta - Kantor PT Newmont Mining Group di Menara Rajawali, Kuningan, Jakarta kembali menjadi sasaran demo. Pendemo yang berasal dari aktivis pecinta alam menuntut agar PT Newmont ditutup karena telah mencemari Teluk Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Aksi hanya dilakukan belasan orang di depan kantor Newmont, sekitar pukul 13.00 WIB, Rabu (4/8/2004). Pendemo tergabung dalam Forum Pecinta Lingkungan yang terdiri dari Pecinta Alam Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Fatuha) dan Jaringan Mahasisiwa Demokratik (JMD) Komite Kota Jabotabek.
Dalam aksinya pendemo hanya melakukan orasi dan menggelar berbagai poster berisi protes. "Tolak Capres-Cawapres Anti Lingkungan", tulis mereka dalam posternya.
Pecinta alam juga menghujat terjadinya militerisme dalam kasus lingkungan. Dalam kasus itu contohnya telah terjadi pemaksaan terhadap warga Buyat agar tak mengakui adanya pencemaran. "Tolak Militerisme dalam Kasus Lingkungan," protes mereka dalam poster yang lainnya.
Pecinta Alam juga menilai pemerintah sudah menjadi kaki tangan kapitalis internasional. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak saja memberikan jaminan keamanan tapi menempatkan pasukan TNI, Polri di sekitar lokasi pertambangan. (iy)
Catatan: aksi ini aku organisir bareng kawan-kawan Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD) Komisariat Uhamka yang juga anggota Patuha dan BEM-FT Uhamka
Sabtu, 15 Juli 2000
Menghadapi Neo-Liberalisme: Saatnya Membangun Kekuatan Buruh
Diterbitkan di Majalah "Pasoendan" (BPPM Fisip Universitas Pasundan Bandung) Edisi 1/Th I Juli 2000
Kapitalisme, yang secara serampangan sering diidentikkan dengan "demokrasi liberal", pada kenyataannya bersekutu dengan kediktatoran militer. Militerisme mereka perlukan supaya gerakan perlawanan rakyat tidak meningkat, dan ujung-ujungnya bisa diinfilitrasi oleh komunis. Suharto membangun aparat represif bernama Kopkamtib, yang tugas utamanya setelah memenangkan kudeta kontra-revolusi 1965, adalah menciptakan stabilitas politik. Depolitisasi dilakukan secara sistematis, disangga oleh undang-undang dan dijalankan oleh aparat sipil dan militer, dari pusat hingga daerah. Sasaran utama depolitisasi adalah kaum buruh.
Buruh dalam "Rumah Kaca" Memberontak
Suharto membangun organisasi buruh pro-pemerintah, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Tugas utamanya adalah meredam gejolak perlawanan buruh, tetapi tidak begitu berhasil. Buruh tetap melakukan mogok kerja. SPSI bahkan menjadi sasaran kecaman internasional, mengingat kondisi buruh di
Gejolak perlawanan buruh meningkat pesat pada awal '90-an. Sepanjang tahun 1994, kaum buruh
Pesatnya angka pemogokan buruh tidak bisa dilepaskan dari strategi industrialisasi Orde Baru pasca-boom minyak. Selama Pelita IV (1983-1988), pemerintah mengubah strategi industrialisasi substitusi impor menjadi orientasi ekspor. Dan, laksana buah simalakama, industrialisasi berarti pertambahan jumlah buruh, dan secara dialektis juga mempertajam kontradiksi dalam hubungan produksi. Dibukanya
Kapitalis internasional tidak lagi menghendaki modalnya digerogoti oleh kapitalis kroni model Orde Baru. Sejak pecahnya "gelombang demokratisasi ketiga" yang melanda Dunia Kedua alias blok komunis, mereka tidak lagi merasa perlu alat represif berupa rejim militeristik. Neoliberalisme menemukan momentumnya untuk melancarkan serangan ke berbagai penjuru dunia, tanpa takut lagi terhadap bahaya komunis. Ekspansi modal antar-sesama kapitalis yang menyebabkan terjadinya overproduksi hanya bisa ditanggulangi dengan penghancuran hambatan-hambatan investasi dan perdagangan. Blok-blok pasar bebas dibangun, seperti NAFTA, Uni Eropa, APEC dan AFTA.
Hubungan-hubungan produksi kapitalis di
Kontradiksi Semakin Menajam
Krisis ekonomi 1997 paling keras menimpa kaum buruh. Sebelum krisis, buruh sudah menderita akibat eksploitasi nilai lebih kerjanya oleh pengusaha, dan ditindas oleh aparat militer. Setelah krisis, mereka kembali dihempaskan akibat membubungnya harga barang-barang seiring jatuhnya nilai rupiah. Industri berhenti atau menurunkan kapasitas produksi; lagi-lagi buruh yang harus menanggung dengan "rela" di-PHK.
Resep neoliberal yang ditawarkan IMF antara lain privatisasi BUMN dan pencabutan subsidi kebutuhan pokok rakyat. Privatisasi menghendaki efisiensi, dan itu artinya PHK massal kaum buruh. Pencabutan subsidi berarti kenaikan harga barang-barang. Kenaikan BBM pada 1998 memicu parahnya krisis. Kenaikan listrik pada 1 April 2000 menimbulkan peningkatan biaya produksi, dan pengusaha mengantisipasi dengan menaikkan harga produknya serta menekan upah buruh. Data yang dihimpun oleh organisasi buruh pimpinan Dita Indah Sari (FNPBI) menunjukkan bahwa UMR tahun 2000 hanya memenuhi 65% kebutuhan hidup minimum (KHM), karena itu FNPBI menuntut kenaikan upah 100%.4)
Pemogokan buruh bertambah pesat, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data aksi buruh di wilayah Jabotabek
Tahun 2000
Januari 90
Februari 120
Maret 120
April 224
Total 601
Sumber: Pembebasan, edisi 18/Th. V/Juli 2000.
Kekuatan buruh secara spektakuler ditunjukkan pada aksi peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei kemarin. Ribuan buruh di berbagai
Beberapa di antaranya menyatakan diri dalam bentuk partai politik, dan mereka ikut bertarung dalam pemilu 1999, yaitu PRD, PBN (Partai Buruh Nasional), PPI (Partai Pekerja Indonesia), PSPSI (Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia) dan PSP (Partai Solidaritas Pekerja). PRD mempunyai pengalaman menggalang aksi-aksi buruh melalui organisasi PPBI (Pusat Perjuangan Buruh
Sementara itu partai-partai borjuasi pun mempunyai organisasi buruh masing-masing, seperti Golkar dengan F-SPSI, PKB dekat dengan Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia), PAN dengan SOPAN (Solidaritas Pekerja Amanat Nasional), PBB dengan PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), Partai Keadilan dengan Serikat Pekerja Keadilan, serta PDI-P dekat dengan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis). Tentu saja, partai-partai borjuasi itu nantinya akan dimintai pertanggungjawaban pada pemilu 2004, sejauh mana mereka benar-benar memperjuangkan aspirasi buruh.
Kondisi riilnya, elit-elit borjuasi tidak bersikap tegas terhadap strategi neoliberal yang dipaksakan oleh IMF, Bank Dunia dan WTO. Partai Golkar, satu-satunya partai yang kenyang dengan pengalaman kekuasaan 32 tahun, dan bersekutu dengan neoliberalisme, tentu saja tidak mungkin mengubah dukungan. Megawati tidak menolak IMF, demikian pula Amien Rais, Hamzah Haz dan tokoh-tokoh "reformis" (gadungan!) lainnya. Gus Dur sendiri, tokoh paling moderat saat ini, tidak menyatakan anti-neoliberalisme. Bahkan, 1 April lalu Gus Dur ngotot menaikkan tarif dasar listrik, sejalan dengan usulan IMF.
Warisan krisis ekonomi dan semakin kuatnya cengkeraman neoliberalisme mau tidak mau akan mempertajam kontradiksi sosial, antara buruh dengan kapitalis dan negara. Andaipun Gus Dur berhasil mengenyahkan sisa-sisa kapitalis kroni, dalam hal ini diwakili oleh Golkar, ia tidak mungkin lari dari watak borjuasinya. Pengalaman di Afrika Selatan dan Korea Selatan menunjukkan, bagaimana presiden populis Nelson Mandela dan Kim Dae-jung pun "terpaksa" menggunakan aparat represif untuk menghadapi aksi-aksi buruh COSATU dan KCTU.
Belajar dari Pengalaman
Contoh-contoh di luar negeri cukup memberi bukti kekejian neoliberalisme terhadap rakyat, khususnya buruh. Di Meksiko, pada aksi May Day 1999 ratusan ribu buruh turun ke jalan menentang rencana privatisasi perusahaan listrik negara dan menuntut kenaikan upah 100% serta perluasan kesempatan kerja. Praktik neoliberalisme di negara itu telah menciptakan pengangguran dan kenaikan harga akibat pencabutan subsidi. Di Venezuela, angka pengangguran telah mencapai 15% dari seluruh angkatan kerja. Sedang di Kolombia, angkanya sebesar 20%. Besarnya jumlah pengangguran mengancam timbulnya keresahan sosial. Aksi-aksi buruh merata di seluruh benua Amerika Latin, semuanya menentang neoliberalisme.6)
Di Turki, pemerintah menuruti saran IMF dengan mengajukan RUU Refromasi Jaminan Sosial yang akan menaikkan usia pensiun dan menurunkan uang pensiun. Akibatnya, 250.000 buruh dari berbagai konfederasi yang bergabung dalam Aliansi Kaum Buruh turun ke jalan menolak RUU tersebut. Mereka juga menentang rencana privatisasi dan konsesi pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan transnasional. Aksi protes tersebut didukung pula oleh partai-partai sosialis-demokratik, dan yelyel yang diserukan antara lain berbunyi: "Bubarkan IMF", "Anjing-anjing IMF, kami tidak ingin privatisasi" dan "Gulingkan pemerintah".7)
Di India, jutaan buruh yang dimobilisasi oleh berbagai serikat buruh dan partai-partai komunis sempat melumpuhkan negeri padat penduduk itu, dalam rangka menentang strategi neoliberal yang diadopsi oleh pemerintahan sayap kanan BJP.
Bahkan, kaum buruh di negara-negara industri maju pun bergerak menolak neoliberalisme. Awalnya adalah pemogokan umum di Prancis pada Desember 1995. Buruh-buruh kereta api mogok sebagai respons pemerintah memotong tunjangan sosial. Represi dari pemerintah justru memperkuat gelombang perlawanan buruh, hingga jumlahnya meningkat menjadi 2 juta orang setelah 24 hari pemogokan. Bulan Oktober, 1,6 juta buruh sektor publik mogok menentang proposal di parlemen untuk menghapuskan tunjangan bagi buruh dan PHK terhadap 5.500 lapangan kerja menjelang akhir tahun. Di Belgia, buruh-buruh yang tergabung dalam Federasi Umum Pekerja Belgia mogok sehari menuntut pengurangan jam kerja tanpa pemotongan upah untuk mengurangi pengangguran. Di Jerman, 400.000 buruh parbik baja, galangan kapal dan industri manufaktur lainnya mogok menolak pemotongan upah waktu sakit. Di Toronto (Kanada), 300.000 buruh mogok dan melakukan pawai menentang pemotongan anggaran negara untuk tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah daerah propinsi Ontario.8)
Di Yunani, 3 juta buruh mogok nasional memrotes pengumuman pemerintahan sosial-demokrat PASOK yang menyatakan akan menyapu "ukuran-ukuran kemandegan ekonomi" (subsidi sosial). Di Italia, 7 juta buruh mogok sehari memrotes pemerintahan koalisi yang intinya adalah Partai Demokrasi Kiri (semula partai komunis) yang berencana membabat subsidi.9)
Kemenangan besar dicapai oleh buruh-buruh Prancis, ketika 50.000 sopir truk mogok selama 12 hari dengan memenangkan tuntutan utama mereka yaitu pemotongan jam kerja tanpa pemotongan upah dan pemendekan usia pensiun dari 60 menjadi 55 setelah 25 tahun kerja. Kuncinya terletak pada solidaritas sesama buruh yang kuat. Masyarakat ikut mendukung aksi tersebut, seperti para pemilik restoran, pompa bensin dan usaha kecil lainnya.10)
Strategi-Taktik Memenangkan Gerakan Buruh
Tugas mendesak saat ini adalah menyatukan gerakan buruh, dari tingkat pabrik menjadi tingkat
Seperti tulis Lenin:
Apa yang menjadi persoalan utama dalam penerapan di Rusia terhadap program umum bagi semua kaum Sosial Demokrat? Kita telah menyatakan bahwa esensi dari program ini adalah mengorganisasikan perjuangan kelas proletariat, dan memimpin proletariat dan pembentukan sebuah masyarakat sosialis. Perjuangan kelas mencakup perjuangan ekonomis (perjuangan melawan individu kapitalis atau kelompok individu kapitalis untuk peningkatan kondisi kerja) dan perjuangan politik (perjuangan melawan pemerintah untuk memperluas hak-hak rakyat, misalnya untuk demokrasi, dan untuk memperluas kekuatan politik proletariat). [...] Semua kaum Sosial Demokrat sepakat bahwa perlu untuk mengorganisasikan perjuangan ekonomi kelas pekerja [...] Namun melupakan perjuangan politik untuk perjuangan ekonomi akan menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Sosial Demokrasi, akan berarti melupakan apa yang diajarkan kepada kita tentang keseluruhan sejarah gerakan buruh.11)
Tugas Gerakan Pro-demokratik
Mahasiswa dan elemen-elemen pro-demokrasi lainnya harus memandang ke depan, mencermati bahaya neoliberalisme. Sukses menumbangkan Suharto hanyalah titik awal bagi sebuah proses revolusi demokratik. Selanjutnya tugas gerakan pro-demokratik adalah memajukan kontradiksi kelas, dengan terjun ke basis-basis rakyat, terutama buruh. Mulailah mengorganisasikan perlawanan buruh, masuk ke kantung-kantung industri, berinteraksi dengan kaum buruh, berdiskusi, dan aksi. Bentuk serikat-serikat buruh, lakukan aksi-aksi, dengan isu ekonomis maupun politis. Galang front-front buruh maupun front multisektor anti-neoliberalisme. Propagandakan bahaya neoliberalisme kepada masyarakat luas.
Kemenangan pasti akan tiba bagi perjuangan kelas buruh. Sebuah masyarakat baru akan tercipta dari rahim kapitalisme.
Catatan Kaki
1) Penulis adalah pengurus Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Kotamadya
2) Karl Marx, Manifesto Partai Komunis, terjemahan dari internet.
3) Menuju Demokrasi Multi-Partai Kerakyatan, Dokumen PRD, biasa disebut sebagai Manifesto PRD.
4) "Penetapan UMR 2000", Seruan Buruh, edisi VII/Maret 2000. Seruan Buruh adalah media resmi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).
5) "Satu Mei, Buruh Tuntut Upah Naik 100%", Pembebasan, edisi ke-18/Th. V/Juli 2000. Pembebasan adalah media resmi PRD.
6) "Amerika Latin: Ratusan Ribu Turun ke Jalan", Seruan Buruh, edisi I/Juni 1999.
7) "Turki: Kaum Buruh Bersatu Lawan IMF", Seruan Buruh, edisi III/Agustus 1999.
8) Doug Lorimer, Globalisasi, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis, terjemahan.
9) ibid.
10) ibid.
11) Lenin, Program Kita, terjemahan dari internet. .
Selengkapnya......
Rabu, 19 April 2000
Sosialisme Demokratik: Alternatif bagi Kapitalisme Global
Sumber: GANESHA No. 29/ April 2000
1989. Tembok Berlin runtuh. Jutaan jiwa menghirup lega udara kebebasan yang terkekang selama puluhan tahun. Angin perubahan bertiup bagai badai melanda penjuru Eropa Timur. Rakyat di negara-negara Cekoslowakia, Hongaria, Polandia dan Rumania berontak menentang kediktatoran. Di Cekoslowakia, tokoh reformis Vaclav Havel memenangkan dukungan rakyat untuk sebuah perubahan, meskipun dilanda perpecahan antara Ceko dan Slowakia. Sementara di Rumania, perubahan itu berhasil diperjuangkan dengan tumbal puluhan ribu nyawa melayang di ujung senjata Tentara Merah, akhirnya disudahi dengan tumbangnya Nicholai Ceaucescu.
Dan akhirnya di induk rejim diktator Tirai Besi, Uni Soviet, bayangan "kematian sosialisme" muncul di depan mata. Satu per satu republik-republik Baltik dan Asia Tengah menyatakan berpisah, dan pupus sudah episode kediktatoran komunis Uni Soviet. Mikhail Gorbachev, dengan gagasan glasnot dan perestroika-nya, tak mampu menahan euforia massa untuk menuntut dipulihkannya demokrasi. Rusia membuang baju komunisnya dan berpaling ke Barat, membuka perekonomiannya bagi pasar bebas. Di negeri tetangganya, sekaligus rival ideologis, Cina, perlawanan mahasiswa menuntut demokrasi berakhir tragis dengan terjadinya Tragedi Tiananmen.
Dunia bersorak atas kembalinya demokrasi. Kebebasan menemukan jalannya meskipun dipasung belenggu kediktatoran. "Sejarah sudah berakhir," tulis Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man. "Dunia akan mengikuti rel peradaban Barat yaitu liberalisme dan kapitalisme." Para cendekiawan mengamini kalimat tersebut, berpijak dari trauma kediktatoran proletariat yang "gagal" mewujudkan cita-cita sosialisme: membangun masyarakat tanpa kelas. Kapitalisme ternyata lebih tangguh. Tawaran kenikmatan kapitalisme lebih memukau ketimbang janji-janji keadilan sosial dalam sosialisme.
Sosialisme sudah Mati?
Arief Budiman, dalam wawancara dengan majalah mahasiswa UGM Balairung, mengatakan bahwa runtuhnya Uni Soviet bukan berarti matinya ide-ide sosialisme. Sebagai kediktatoran penguasa, sosialisme memang kalah. Dan yang harus dicermati adalah dinamika dalam tubuh sosialisme sendiri, karena sejak awal lahirnya ide-ide sosialisme pada abad ke-19, sosialisme sudah bertabur banyak aliran. Mulai dari yang utopis, evolutif, revolusioner, oportunis, ultrakiri hingga kaum anarkis yang menolak total segala bentuk kediktatoran termasuk Negara.
Lalu yang mana yang diwakili oleh Eropa Timur, Uni Soviet, Cina, Korea Utara dan Vietnam? Mana pula yang diwakili oleh Kuba? Atau barangkali Indonesia dengan Marhaenisme-nya, Nasser dengan sosialisme Arab-nya, atau Muammar Qaddhafi? Semua topeng sosialisme yang dikenakan para penguasa rata-rata hanya tipuan belaka. Di dalamnya bersembunyi oportunisme golongan yang berkepentingan terhadap tampuk kekuasaan. Uni Soviet adalah contoh riil. Revolusi Oktober 1917 yang berhasil menggulingkan pemerintahan hasil revolusi Maret 1917 ditelikung oleh Stalin, dan roh sosialisme pun padam. Stalin, meninggalkan jejak revolusioner kaum Bolshevik, memilih membangun "sosialisme dalam satu negeri" yang pada hakikatnya adalah sebuah KAPITALISME NEGARA. Kemenangan partai proletariat Bolshevik tidak diikuti dengan penguatan Dewan-dewan Rakyat (Soviet-soviet) yang sudah terbentuk, tetapi malah dengan mesin Negara (aparat birokrasi, polisi rahasia dan tentara), organisasi-organisasi rakyat itu dibekukan. Segala hak-hak demokratik dipasung. Negara memaksakan kolektivisasi pertanian tanpa memperhitungkan watak petani yang berbeda dengan watak buruh. Partai komunis menjelma menjadi lembaga Negara yang menguasai industri, pertanian dan segala sektor kehidupan rakyat.
Gerakan-gerakan kiri di Eropa yang semula bersemangat dengan kemenangan Revolusi Rusia 1917 akhirnya terpecah-belah. Stalin, dengan organisasi Komunis Internasional (Comintern)-nya, mendikte partai-partai komunis di seluruh dunia untuk mengikuti garis Moskow. Akibatnya, kemenangan di depan mata untuk revolusi sosialis di Eropa gagal total menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua. Di Italia, partai komunis (PCI) berkolaborasi dengan Sekutu dan elemen-elemen konservatif (sesuai instruksi Comintern) dan membubarkan komite-komite aksi perlawanan bersenjata yang terbangun di Italia Utara. Di Prancis, gerilya partai komunis (populer dengan nama gerakan Ressistance, di mana Francois Mitterand pernah menjadi anggotanya) dilibas oleh tentara Sekutu dari arah Normandia. Di Cina, ribuan kader-kader terbaik partai komunis PKC tewas dibantai oleh partai nasionalis Kuomintang di bawah kepemimpinan Chiang Kaishek. Di Indonesia, hasilnya adalah petualangan PKI di Madiun yang berakibat fatal bagi pergerakan rakyat Indonesia dalam menuntaskan revolusi nasional-demokratik melawan neo-kolonialisme.
Tampak jelas bahwa sosialisme yang ditampilkan oleh Uni Soviet, Cina dan sebagainya, termasuk Comintern, bukanlah cermin sosialisme yang sebenarnya. Tudingan bahwa kediktatoran sosialis tersebut tidak lain hanyalah KAPITALISME NEGARA terlihat jelas ketika Uni Soviet runtuh. Dengan cepat, para pejabat partai-partai komunis di Eropa mengubah nama partainya dan meninggalkan ideologi sosialis, berubah menjadi pro-kapitalis. Mereka hanya menikmati kekuasaan birokratik dan militer dengan bersembunyi di balik ideologi sosialisme, menumpuk kekayaan bagi kroni-kroni pejabat partai.
Dan kapitalisme pun berjaya! Ketakutan terhadap pecahnya Perang Dunia Ketiga antara dua kekuatan adidaya sirna. Peta politik internasional berubah drastis. Kekuatan modal merajalela ke penjuru dunia, memporak-porandakan batas-batas negara. Globalisasi menjadi kata kunci selama dasawarsa ’90-an. Tidak ada pidato-pidato maupun obrolan tak resmi yang tidak diselipi kata-kata "globalisasi". Hambatan ideologis sudah sirna, kini lembaga-lembaga donor internasional bebas mengulurkan bantuan utang ke berbagai negara. Ketakutan terhadap bahaya komunis sudah lenyap. Pola globalisasi modal tidak perlu didukung dengan membiayai rejim-rejim diktator. 1990, rejim apartheid di Afrika Selatan runtuh. 1997, Mobutu Sese Seko di Zaire jatuh. 1998, Soeharto tumbang. Jaringan modal internasional menggurita dengan tangan-tangannya berupa lembaga-lembaga IMF, WTO, Bank Dunia dan sebagainya.
Lalu ke mana arah gerakan sosialis? Banyak kalangan pesimis terhadap ide-ide sosialisme. Sejak awal, sudah muncul kritik-kritik baik dari kaum sosialis sendiri maupun di luar mereka. Pesona Mazhab Frankfurt mencetuskan gerakan Kiri Baru yang populer di Amerika Serikat pada dasawarsa ’60-an, meskipun ditentang sendiri oleh sesepuh-sesepuh mereka. Kecewa dengan kegagalan revolusi selama ’60-an, ide-ide pos-strukturalis dan pos-modernis menyebar, memunculkan gerakan-gerakan ekologis dan feminis yang menyatakan bahwa perjuangan kelas sudah tidak relevan lagi. Di tubuh sosialis, anggapan berakhirnya perjuangan kelas dipopulerkan oleh partai-partai demokratik sosial yang banyak meraih kemenangan di Eropa pada ’90-an, seperti Partai Buruh Inggris (Tony Blair), Partai Sosial Demokrat Jerman (Gerhard Schoreder) dan Partai Sosialis Prancis (Lionel Jospin).
Sementara itu, kalangan sosialis yang tetap bertahan dengan gagasan "perjuangan kelas" melihat fenomena globalisasi modal sebagai bentuk baru kapitalisme dalam upaya penyempurnaan diri. Setelah gagal dengan eksperimen kolonialisme (penjajahan), ditandai dengan keberhasilan gerakan-gerakan nasionalis pasca-Perang Dunia Kedua, kapitalisme mengubah taktiknya menjadi imperialisme (penguasaan ekonomi). Setelah sempat goyah akibat Revolusi 1917 dan dua kali perang dunia, kapitalisme berhasil lolos dari keruntuhan dengan mengikuti resep Keynesian, di mana liberalisme kemudian dibendung oleh intervensi Negara. Lahirlah konsep "negara kesejahteraan" (welfare state) sebagai konsesi dari kalangan liberal untuk mencegah kemenangan revolusi sosialis. Pecahnya gelombang demokratisasi era ’70-an (di Eropa Selatan) dan ’80-an (di Amerika Latin) melemahkan institusi Negara, dan kaum liberal kembali kepada rumusan ekonomi klasik. Paham neo-klasik sering pula disebut neo-liberalisme, di mana Negara kembali dipinggirkan dari arena pasar bebas.
Solidaritas Internasional Melawan Kapitalisme Global
Arus deras neoliberalisme membangkitkan gagasan untuk membangun solidaritas internasional di antara gerakan-gerakan kiri sedunia. Jaringan komunikasi dan transportasi memudahkan gagasan tersebut bersemi. Aksi anti-kapitalisme di Seattle, Desember 1999 dalam menentang pertemuan WTO segera terekspos ke seluruh dunia. "The whole world is watching!" seru para demonstran di Seattle, mengingatkan pada aksi besar-besaran menentang Perang Vietnam. Aksi di Seattle tidak hanya dilakukan oleh aktivis-aktivis sosialis dan serikat buruh, tetapi juga organisasi pecinta lingkungan hidup yang menuding perusahaan-perusahaan transnasional bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan hidup, termasuk punahnya speises penyu laut. Tahun 2000, kembali pertemuan WEF (Forum Ekonomi Dunia) di Davos, Swiss, diwarnai dengan unjuk rasa ribuan orang menentang globalisasi modal. Di Bangkok, pertemuan UNCTAD diprotes oleh para pengunjuk rasa menolak keberadaan IMF yang dituduh telah memiskinkan rakyat negara-negara berkembang di Dunia Ketiga.
Mengapa KAPITALISME ditentang? Mari kita cermati fakta-fakta berikut. Para ahli lingkungan hidup mencatat bahwa abad ini adalah abad terpanas dalam 600 tahun terakhir, dengan tahun-tahun terpanas adalah 1990, 1995 dan 1997. Efek rumah kaca mengancam penduduk tepi pantai karena air laut akan naik 15 hingga 90 sentimeter sampai tahun 2100. Hutan-hutan dunia makin menipis, sementara gurun pasir bertambah luas. Milyaran ton tanah subur terbawa air dan terbuang percuma ke laut. Spesies-spesies langka satu per satu punah. Perairan dan udara tercemar. Lapisan ozon berlubang dan pemanasan global mengancam kehidupan di bumi. Perusakan lingkungan bukan hanya mengancam generasi mendatang, tetapi juga saat ini mengancam kehidupan manusia di seluruh belahan dunia. Di Amerika Serikat, lebih dari 1 milyar kilogram senyawa beracun dilepaskan ke udara setiap tahunnya. Lebih dari setengah penduduk AS tinggal di daerah-daerah yang tingkat pencemarannya melebihi standar pemerintah. Sungai-sungai di Australia telah tercemar pestisida, yang menyebabkan matinya ikan-ikan dan bagi manusia bisa menyebabkan kanker.
Bahaya pencemaran akan berkali-kali lipat lebih buruk terjadi di Dunia Ketiga. Hampir 30% penduduk Dunia Ketiga tidak mendapat akses terhadap air bersih untuk minum. Negara-negara maju mengekspor krisis lingkungan di negaranya dengan mengirim sampah beracun dan merelokasi industri-industri yang merusak lingkungan ke Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di Mexico City, satu dari seratus bayi lahir dalam keadaan cacat mental akibat pencemaran timbal di atmosfer. Perusahaan-perusahaan transnasional mengoperasikan pabrik-pabrik yang membuang polutan beracun dan mengeksploitasi buruh-buruh murah Meksiko.
Sejumlah pakar lingkungan menuding OVERPOPULASI sebagai biang kerusakan lingkungan (ingat teori Malthus tentang "deret hitung" produksi makanan dan "deret ukur" ledakan penduduk). Tetapi fakta sesungguhnya: dunia selalu memproduksi makanan dalam jumlah lebih dari cukup untuk dikonsumsi dunia, dan teknologi untuk menangani pencemaran sudah tersedia. Masalahnya: teknologi itu akan DIGUNAKAN, atau DISALAHGUNAKAN. Perusakan lingkungan adalah dampak dari sistem ekonomi kapitalisme, di mana produksi semata-mata untuk memperbesar keuntungan, tanpa mengingat efeknya bagi lingkungan dan manusia. Membuat instalasi pengolah limbah dianggap membebani ongkos produksi. Di Eropa, teknologi untuk mencegah emisi sulfur dioksida (penyebab utama hujan asam) sudah tersedia, tetapi toh pusat-pusat pembangkit panas dan tanur tinggi di sana tetap melepas jutaan ton sulfur dioksida ke udara setiap tahunnya.
Kapitalisme tidak saja merusak lingkungan, tetapi juga telah membunuh jutaan anak-anak di Brazil karena penyakit dan kelaparan. Tahun 1995, Dunia Ketiga menerima $59 juta bantuan resmi, dan pada saat yang sama $230 juta lari dari Dunia Ketiga ke negara-negara maju dalam bentuk pembayaran utang. Teknologi dan dana untuk industrialisasi di Dunia Ketiga dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Di setiap negara, kapitalisme menciptakan PENGANGGURAN STRUKTURAL. Pengangguran terjadi di mana-mana, padahal banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan. Tetapi mengapa ada sektor informal memadati kota-kota, gelandangan dan pengamen di perempatan jalan, pengemis dan pelacur? Karena kapitalis selalu menjaga kapasitas produksi hanya 50-75% supaya produk yang dihasilkan tetap langka dan harga bisa tetap tinggi. KAPITALISME MENCIPTAKAN PENGANGGURAN, agar upah buruh dapat dipertahankan tetap rendah, sehingga buruh-buruh yang protes menuntut kenaikan upah dapat segera digantikan oleh antrean panjang para penganggur pencari kerja. Kapitalisme tidak hanya MENINDAS BURUH, tetapi juga menciptakan PERANG di mana-mana. Untuk menjaga sumber-sumber minyak di Timur Tengah, AS melancarkan perang melawan Irak dan mengembargo Irak, sehingga terjadi bahaya kelaparan. Selama Perang Vietnam, AS menjatuhkan 150 kilogram bahan peledak untuk setiap orang di Vietnam setiap tahunnya, membunuh hampir satu juta penduduk. Dunia menghabiskan dua juta dolar tiap menit untuk kepentingan militer, sementara setiap menit 30 orang anak-anak mati karena kelaparan atau penyakit! Pasca-Perang Dingin, AS menganggarkan $25 juta per tahun untuk kesehatan, atau hanya 3% dari $800 milyar yang dikeluarkan untuk keperluan militer…!!!
Jawabannya: Sosialisme Demokratik
Stalinisme yang anti-demokrasi dan demokrasi sosial (social democracy atau sos-dem Eropa) yang anti-revolusi sama-sama telah gagal menjawab problem sosial akibat kapitalisme global. Stalinisme runtuh dari dalam oleh perlawanan rakyat tehadap kediktatoran birokrasi Partai Komunis (KAPITALISME NEGARA). Sementara itu partai-partai demokratik sosial di Eropa dan belahan bumi lainnya terbawa arus kapitalisme global, bersekongkol dengan kaum liberal dan konservatif dalam menegakkan tatanan globalisasi modal dan menindas kaum buruh di negara-negara maju dan rakyat Dunia Ketiga. Belajar dari kegagalan Stalinisme dan demokrasi sosial, tersisa sebuah alternatif: SOSIALISME DEMOKRATIK. Mengapa tetap sosialisme, dan mengapa harus demokratik? Apakah itu hanya sebuah tawaran kompromis akibat trauma kediktatoran Stalinis?
Kapitalisme, dengan berbagai variannya: merkantilisme, kolonialisme, fasisme, negara kesejahteraan, imperialisme dan militerisme, sama saja, semuanya bertanggung jawab atas ketimpangan sosial yang di tiap negara dan menciptakan jurang kemiskinan antara negara-negara maju dan negara-negara miskin. Pemikiran-pemikiran klasik Marxisme telah menganalisis struktur penindasan dalam sebuah negara, antara kelas penguasa (borjuis) dan kelas tertindas (proletar), di mana institusi Negara (dengan aparat birokrasi dan militernya) dijadikan alat bagi kapitalis untuk melestarikan penindasan terhadap kelas pekerja. Antonio Gramsci menambahkan konsep "hegemoni", yaitu upaya kapitalis untuk mencegah bangkitnya kesadaran kelas di kalangan pekerja dengan menggunakan institusi-institusi budaya (pendidikan, media massa, seni, dan agama).
Globalisasi modal meluaskan pasar ke seluruh dunia dan menyisakan kemiskinan di Dunia Ketiga. Para pemikir Marxis dari Amerika Latin menganalisis secara kelas, bagaimana struktur ketergantungan antara negara berkembang dengan negara maju tercipta. Dunia Ketiga, belum sepenuhnya lepas dari belenggu sistem ekonomi pra-kapitalis. Kapitalisme yang datang dalam bentuk merkantilisme dan kolonialisme memanfaatkan struktur sosial feodalisme, di mana bangsawan-bangsawan setempat dijadikan agen kapitalisme perkebunan dan sarana dukungan rakyat terjajah. Kolonialisme tidak pernah berniat melakukan transfer teknologi ke negara-negara terjajah: hanya dijadikan sumber bahan mentah, sumber tenaga kerja dan pasar produk industri.
Represivitas kolonialisme (dengan kekuatan militernya) membangkitkan perlawanan rakyat. Perang-perang kolonial terjadi di semua negeri terjajah. Puncak dari perlawanan rakyat adalah proklamasi kemerdekaan, yang gelombang awalnya terjadi pasca-Perang Dunia Kedua, diikuti dengan tuntutan dekolonisasi oleh PBB. Kuatnya sentimen nasionalisme memberi angin bagi penguasa-penguasa populis (misal: Soekarno, Nasser, Mossadeq di Iran dan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan), yang dengan kebijakan nasionalisasinya mengancam modal asing. Melalui kudeta militer dengan dukungan kaum konservatif, kapitalis internasional berhasil memaksakan liberalisasi pasar. Rejim militer berkuasa dalam jangka sangat panjang (Soeharto, Husni Mubarok, Syah Reza Pahlevi, Zia Ul Haq di Pakistan dan Augusto Pinochet di Cile).
Kolonialisme berubah menjadi imperialisme, di mana kapitalis internasional memanfaatkan lembaga-lembaga donor dan penguasa militer untuk mengamankan modal di negara-negara berkembang. Kapitalisme memang sangat fleksibel, ia bisa mendukung rejim diktator maupun rejim demokratik, asalkan bersedia mengamankan modalnya. Maka ketika represivitas rejim militer memuncak, gelombang perlawanan rakyat pun bangkit. Rakyat menuntut ditegakkannya demokrasi.
Sintesisnya adalah menegakkan tatanan SOSIALISME, sebagai antitesis terhadap KAPITALISME, tetapi dengan diawali perjuangan DEMOKRASI (antitesis kediktatoran penguasa). Sosialisme adalah sistem perekonomian yang menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan modal. Jika dalam kapitalisme, segelintir manusia menentukan mayoritas manusia lainnya berdasarkan penguasaan atas alat-alat produksi, sosialisme menginginkan agar setiap orang mendapat akses, sehingga lenyap kesenjangan kaya-miskin, adanya pengangguran, peperangan, penindasan, dan perusakan lingkungan hidup. Sosialisme tidak sekadar memanusiawikan wajah kapitalisme, tetapi sekaligus menghancurkan inti ketidakmanusiawian kapitalisme, yaitu MONOPOLI HAK MILIK PRIBADI ATAS ALAT-ALAT PRODUKSI.
Sosialisme demokratik mencita-citakan ditegakkannya demokrasi dan keadilan sosial. Sosialisme demokratik tidak ingin mengulangi oportunisme Stalinis dengan memaksakan sosialisme dalam waktu singkat. Tetapi sosialisme demokratik juga tidak ingin membebek kepada permainan demokrasi-nya kapitalis yang plintat-plintut. Demokrasi di tangan kapitalisme hanya sebuah sandiwara prosedural belaka: pemilihan umum, parlemen, kebebasan berserikat, kebebasan pers. Tapi di sisi lain kapitalisme tidak mentoleransi gerakan massa yang berkesadaran sejati, yang menuntut demokrasi sejati, bukan demokrasi prosedural. Kapitalis menggunakan polisi dan militer untuk membubarkan aksi-aksi massa.
Secara kelembagaan, sosialisme demokratik menginginkan terbentuknya struktur politik baru yang lebih menjamin proses-proses demokrasi sejati, yaitu melalui mekanisme Dewan-dewan Rakyat. Dewan Rakyat adalah perencana (legislatif) sekaligus pelaksana (eksekutif), dengan kontrol langsung oleh massa. Kegiatan sosial ekonomi direncanakan dan dilaksanakan oleh Dewan-dewan Rakyat hingga ke tingkat kampung (komune-komune), sehingga aspirasi demokrasi tidak mungkin dapat dimanipulasi. Kontrol massa menghilangkan timbulnya korupsi dan birokrasi yang berbelit. Sosialisme demokratik menentang oportunisme demokrasi sosial (social democracy) – alias sos-dem borjuis – yang membius kaum buruh untuk bersekongkol dengan kapitalis.
Perjuangan untuk terciptanya tatanan sosialisme demokratik tidak mungkin dilakukan semata-mata lewat prosedur demokrasi parlementarian, tetapi mesti menggunakan jalur ekstra-parlementer, lewat gerakan-gerakan massa. Pelajaran dari revolusi demokratik, di mana gerakan massa berhasil memaksakan perubahan terhadap rejim otoriter, maka sebuah revolusi sosialis pun hanya bisa ditempuh melalui aksi-aksi massa dalam jumlah besar.
Sosialisme Demokratik dan Gerakan-gerakan Sosial Lainnya
Sosialisme demokratik tidak semata-mata berurusan dengan persoalan ekonomi, tetapi juga menginginkan dihapuskannya berbagai bentuk diskriminasi. Karena itu isu-isu feminis, suku pedalaman dan lingkungan hidup pun menjadi isu-isu sosialisme demokratik. Penindasan terhadap perempuan adalah bagian dari sistem ekonomi kapitalis. Memanfaatkan budaya patriarki, kapitalisme mengeksploitasi perempuan, ditindas hak-hak reproduksinya, dan dijadikan objek penawaran komoditas. Kapitalisme juga bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup, karena lebih mengutamakan profit daripada pelestarian lingkungan. Kapitalisme melestarikan diskriminasi rasial dan primordial. Sampai 1990, di Afrika Selatan yang kaya barang tambang, pekerja kulit hitam diupah lebih rendah daripada pekerja kulit putih dan kulit berwarna, sehingga memecah-belah kaum buruh berdasarkan ras.
Sosialisme demokratik memberikan perspektif kelas bagi gerakan-gerakan sosial agar tidak terjebak ke dalam cara pandang borjuis. Sosialisme demokratik memandang pembebasan kaum perempuan dari diskriminasi hanya mungkin dilakukan dengan merombak hubungan sosial kapitalisme, tidak semata-mata berjuang demi kaum perempuan saja. Penghancuran sistem kapitalisme juga berarti dilenyapkannya ideologi rasisme dan primordialisme. Sosialisme demokratik menentang ideologi globalisme (dianut oleh pendukung kapitalisme), dan sebaliknya mempopulerkan internasionalisme (sekaligus memblejeti paham nasionalisme sempit). Sosialisme demokratik menyatukan umat manusia tanpa pandang jenis kelamin, ras, agama, bangsa dan orientasi seksual.
Program Sosialisme Demokratik
Sosialisme demokratik (sosdem) mencita-citakan terbentuknya masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Untuk itu, dalam bidang politik sosdem menjamin kebebasan berorganisasi dan berdemonstrasi, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Di bidang ekonomi, sosdem berorientasi kepada rakyat pekerja dengan meningkatkan kesejahteraan buruh, melaksanakan reformasi agraria di pedesaan, memberi kebebasan berusaha bagi sektor informal, mendorong terbentuknya koperasi sebagai alternatif bagi perusahaan kapitalis dan menerapkan pajak progresif bagi pengusaha berat.
Di bidang sosial budaya, sosdem menjamin kebebasan memeluk agama dan mengekspresikan keyakinannya, menjamin kebebasan berkreasi bagi seniman, mengusahakan pendidikan murah dan merata kepada seluruh rakyat, menghapus diskriminasi SARA dan diskriminasi terhadap kaum perempuan dan kaum homoseksual, melakukan rehabilitasi terhadap pelacur dan korban narkoba kemudian disalurkan ke lapangan kerja yang manusiawi, memberikan tunjangan untuk anak-anak, ibu hamil-menyusui dan pensiunan, menghapus eksploitasi terhadap anak-anak, menjamin keragaman budaya masyarakat dan mencegah perusakan lingkungan hidup.
Sebagai fase transisi menuju masyarakat sosialis sepenuhnya, sosdem mendorong kaum buruh menjadi pelopor untuk merombak total hubungan-hubungan sosial kapitalisme, mengikis habis kapitalisme hingga ke mentalitas masyarakat.
Rabu, 19 Januari 2000
Popularising Marxism in Indonesia
Sumber: Green Left Weekly-Australia, 19 Januari 2000, Action in Solidarity with Asia and the Pacific
Since the coming to power of Indonesia's brutal New Order regime in 1965, discussion and dissemination of Marxist ideas has been banned in Indonesia. However, on November 20, 200 students and activists gathered at the Bandung Institute of Technology campus for a seminar on the ideas of Karl Marx and their relevance in Indonesia. Green Left Weekly's Edi Ruslan spoke with Sudiarto, a student activist from the Bandung-based Indonesian Student Movement for Change (GMIP) and an organiser of the seminar.
"The academic study of Marxist ideas is now legal in Indonesia", explained Sudiarto. "However, in practice, a genuine study of Marxism has not been possible."
For the last 32 years, the people of Indonesia have faced a barrage of propaganda from the regime warning against "the danger of latent communism". Marxism is always identified with the communism of the Indonesian Communist Party (PKI), which was smashed under General Suharto's government (around 1 million PKI members and sympathisers were killed) and subsequently banned.
"Every opposition power towards the New Order regime", Sudiarto explained, "is oppressed by being labelled extreme right, reactionary Islamic, or extreme left, communist."
This tactic was used by the Suharto regime in its efforts to justify the banning of the People's Democratic Party (PRD) in 1996. Several PRD members were tried for subversion and jailed.
The PRD was accused of being the mastermind behind riots that occurred on July 27, 1996. "The accusation that the PRD adheres to communist ideology was propagated by the regime to kill the strength of the pro-democracy movement in Indonesia", stated Sudiarto.
Student movement
With the fall of Suharto, accompanied by a political liberalisation, the discussion of left-wing ideas has greatly increased, although the continuing grip of the Indonesian armed forces on political life still intimidates activists. Sudiarto explained that, at their actions, student organisations almost always proclaim a left-wing program and "can be heard to yell `revolusi' with their left fist raised".
The November 20 seminar on Marxism featured speakers Franz Magnis-Suseno, a senior lecturer at the Driyarkara Senior School of Philosophy, and Haris Rusli Moti, national chairperson of the PRD. Magnis is the author of The Ideas Of Karl Marx: from Utopian Socialism to the Dispute about Revisionism, the first book about Marxism published in the era of the New Order.
The event was organised by the Political Economy and History Study Club at the Bandung Institute of Technology, the Social Movement and Analysis Group at the Senior School of Technology, and the National Technology Institute Student Association in Bandung. These three study clubs were initiated by student movement committees in Bandung which are affiliated to the National Students League for Democracy. Sudiarto explained, "The study clubs see their role as `legal organisations', able to operate with greater freedom and access to facilities on the campuses, for propagating democratic socialist ideas".
The seminar was attended by 200 people, including students from campuses other than the three where there are study clubs. "Student enthusiasm was very high", Sudiarto told Green Left Weekly. "However, from the discussion it was evident that comprehension about Marxism amongst students in still confused. Marxism is still misinterpreted as the practice of Marxism in the former Soviet Union, which was distorted by Stalin." This form of socialism "was characterised by repression of political freedom and the dominance of state bureaucracy", Sudiarto pointed out.
Sudiarto explained, "In the student bodies themselves there are many that still have a false understanding of Marxism. Many students question the relevance of the theories of Karl Marx to the modern era, arguing that ideas about class struggle put forward by Marx have not come true." The ideas of European social democracy, as expressed in Anthony Giddens' book The Third Way, have gained influence with many students. Religion
Other students, coming from an Islamic perspective, sought to discredit Marxism by claiming that it "is just `rhetoric' because Marx never intended to analyse religion", said Sudiarto. However, Marx's statement that `religion is the opiate of the masses' must be understood in relation to Marx's commentary about the ideas of Feuerbach about the evolution of religion.
"Islam, if seen from an historical perspective, represented opposition towards the economic system of slavery in the Arabic peninsula. Yet, in the course of history, Islam developed into many variations and was finally coopted by feudal-monarchic power."
Sudiarto said that, while the Islamic religion has a strong hold on student consciousness (and the consciousness of people in general in Indonesia), "there are many examples of Muslim activists who have chosen a leftist course in struggling against class oppression". He cited the example of Haris, who was formerly a leading activist in the Islamic Students Association in Yogyakarta (a right-wing student organisation).
Sudiarto argued that it is essential for left-wing students to begin campaigning for support for Marxist ideas. "From the position of the student movement, Marxism is a real alternative ... because history indicates that it is left- wing/Marxist movements that are most consistent in fighting the oppression of the people, such as the workers' and farmers' movement organised by Red Sarekat Islam (SI-Merah) and the PKI.
"The student movement, without joining with the masses, will only produce change at the level of the political elite, without changing the political and economic structure on the scale that is needed.
"The new government of Gus Dur has promised democratisation. Unless we can awaken in the people a determination to reopen the gates to a democratic revolution, talk of democratisation will remain hollow rhetoric. Popularising Marxist ideas, which still remain taboo, is an important step in this direction."
Kamis, 15 Juli 1999
Pendidikan dan Hegemoni Budaya Kapitalisme
Sumber: GANESHA no.25 / Juli 1999
Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan empat PTN yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri.
Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.
Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi kaum buruh menuntut hak-haknya, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat.
Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa. Baru-baru ini di Iran demo mahasiswa pro-demokrasi ditindas dengan brutal oleh polisi dan tentara pengawal revolusi. Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanahnya. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 144 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkanmahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri.
Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi. Di bangku SD hingga SLTA diajarkan indoktrinasi nasionalisme-chauvinistik melalui pelajaran PSPB. Pelajaran sejarah, kita tahu persis hanya mengikuti versi pemerintah. Banyak fakta-fakta sejarah yang disembunyikan.
Privatisasi bukan Berarti Otonomi Kampus
Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.
Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.
Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi "bahan baku" tenaga kerja yang terampil.
Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.
Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (serikat mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).