Sumber: Detikcom
10/08/2004 16:34 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikcom
Jakarta - Masyarakat di sekitar pertambangan sulit memperoleh haknya. Selain pemerintah kurang peduli, mereka kerap harus berhadapan dengan militerisme.
Demikian ditegaskan koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Tatam), Siti Maemuna dalam sebuah diskusi bertajuk 'Belajar dari Kasus Buyat, Bagaimana Gerakan Lingkungan Menyikapinya' di auditorium Uhamka, Jl. Limau II, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2004).
"Misalnya PT. Freeport, mereka mengeluarkan Rp 50 miliar per tahun untuk membayar aparat keamanan menjaga lokasi pertambangan. Jadi bila ada warga yang bermasalah, mereka akan langsung berhadapan dengan aparat," kata Maemunah.
Lebih jauh, Maemunah mengimbau agar pemerintah lebih peduli terhadap kasus-kasus lingkungan. Salah satunya, kasus yang terjadi di Minahasa yang diduga melibatkan PT.Newmont Minahasa Raya (NMR).
"Selama ini pemerintah tidak perduli dan bahkan membiarkan masalah tersebut timbul. PT.NMR tidak memenuhi izin dalam pembuangan limbah/tailing/ (lumpur penggerusan batuan tambang). Tapi pemerintah tidak berbuat apa-apa," tutur Maemunah. (djo)
Catatan: diskusi ini aku organisir bareng kawan-kawan Jaringan Mahasiswa Demokratik (JMD) Komisariat Uhamka yang juga anggota Patuha dan BEM-FT Uhamka
Selasa, 10 Agustus 2004
Militerisme Juga Terjadi di Lingkungan Pertambangan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar