Kamis, 26 Agustus 2010

Menolak ACFTA Lewat Nonton Film Bareng

Sumber: Majalah Publik, Edisi II (Agustus-September 2009)

Media film sungguh bermanfaat untuk mengangkat permasalahan masyarakat. Setelah tercerahkan oleh pemutaran film “The Corporation”, pada Jumat (16/4) selepas isya di pelataran kampus Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), kalangan intelektual, dosen dan mahasiswa, bersama para aktivis buruh dari Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (FSP KEP) SPSI yang memilih mendiskusikan apa dan bagaimana dampak ACFTA yang per 1 Januari 2010, resmi berjalan pada jalur normal (normal track) dengan seluruh tarif bea masuk di-nol-persen-kan.

Dodi Mantra, pengajar di Prodi HI UAI, mengungkapkan strategi “tendang tangga” China dalam meraih pertumbuhan ekonomi agar tidak dikejar oleh para pesaingnya. Sedangkan Muhammad Rahman Salim, aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa HI Indonesia (FKMHII) yang juga peneliti di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian (PSPP) UAI, meyakini bahwa ACFTA dapat ditangkal sebagaimana serangan peluru kendali pun bisa dihadapi melalui penangkalan (deterrence). Di akhir acara, dibacakan Maklumat Sisingamangaraja sebagai bentuk penolakan terhadap ACFTA dan menyuarakan desakan agar DPR segera membentuk Pansus ACFTA beserta badan pengawasnya.

Selain kalangan kampus, di pedesaan kaki Gunung Salak, tepatnya desa Cihideung Udik, Ciampea, para anak muda berlatar belakang petani pun tak kalah rasa ingin tahunya mengenai dampak ACFTA terhadap rakyat. Melalui media film, mereka yang tergabung dalam Komunitas Layar Tancap Ciampea pada Sabtu malam (17/4) kembali memutar “The Corporation”, film dokumenter besutan Mark Achbar. Film yang membongkar borok-borok korporasi ini, mengidentifikasi gejala-gejala psikopat yang diidap oleh korporasi.

Menjelang perayaan Hari Buruh Sedunia, komunitas Sanggar Bapontar-Saung Awi memfasilitasi kalangan seniman yang tergabung dalam Front Kebudayaan Nasional (FKN) menggelar malam seni (31/4), disertai pemutaran film “Laskar Pelangi” bagi anak-anak penduduk sekitar sanggar. Malam itu berbagai elemen FKN mengekspresikan penolakan ACFTA dan mengkampanyekan “Cintai Produk Nasional” melalui lagu-lagu, musikali puisi dan monolog. Besoknya (1/5), sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum buruh, FKN mengarak ogoh-ogoh ke depan gedung DPR Senayan dan menampilkan teaterikal yang menggambarkan beratnya beban ACFTA bagi rakyat.

Kalangan buruh yang gencar melancarkan aksi-aksi penolakan ACFTA juga menggelar pemutaran film “New Rulers of the World” di halaman sekretariat DPC SPSI Bekasi pada Sabtu malam (19/6). Ditemani bajigur dan gorengan, lebih dari 50 pengurus tingkat basis disuguhi tontonan yang menggambarkan eksploitasi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) terhadap kaum buruh Indonesia. Begitu ekstremnya, sehingga gaji satu bulan seorang buruh hanya sanggup untuk membeli tali sepatu yang diproduksinya sendiri. Dalam film tersebut, John Pilger mengungkapkan betapa globalisasi melahirkan utang, privatisasi dan kesengsaraan bagi rakyat negara-negara berkembang.

Ketua FSP KEP R. Abdullah mengkhawatirkan dampak globalisasi yang kini mewujud dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (FTA) terhadap generasi mendatang. “Anak-anak kita akan menjadi antrean pencari kerja,” demikian kekhawatirannya. Revitriyoso Husodo, Program Officer Kampanye dan Jaringan IGJ yang juga koordinator Koalisi Rakyat Tolak ACFTA, mengungkapkan ambiguitas pemerintah yang berniat meningkatkan daya saing dalam rangka menghadapi FTA, tapi malah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), disusul kemudian dengan BBM dan gas elpiji. Pengusaha terpaksa melakukan penghematan produksi yang berujung pada penurunan tingkat kesejahteraan buruh, bahkan PHK massal.(sudi)

Selengkapnya......

Senin, 26 April 2010

Orasi Budaya Revitriyoso Husodo: “Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global”

Sumber: Majalah Publik, Edisi II (Agustus-September 2009)


Individualisme vs Kolektivisme

Dalam orasi yang disampaikan di depan seratusan mahasiswa Al-Azhar dan perwakilan beberapa kampus lainnya, Revitriyoso Husodo memberikan paparan mulai dari menjelaskan bagaimana munculnya paham individualisme, yang bertentangan dengan semangat kolektivisme. Fakta-fakta kekinian menunjukkan Bill Gates meraih keuntungan lebih dari 5.000 dolar tiap detik, artinya dia merugi kalau harus membungkukkan badan untuk memungut uang 100 dolar yang jatuh di jalan. Di sisi lain setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan, sedangkan setiap ekor sapi di Eropa mendapat subsidi 2,2 dolar tiap hari, lebih tinggi dari pendapatan dari 1,2 milyar rakyat miskin di dunia.

Sejak masa purbakala, barangkali sejak zaman Kabil dan Habit, atau sejak Cro Magnon menyapu bersih Neanderthal sekitar satu juta tahun yang lalu, yang menjadi cikal bakal Homo sapiens, sifat keserakahan dan saling bantu menjadi dua kutub yang selalu berperang demi pertahanan diri umat manusia. Setelah berakhirnya Perang Salib, di Eropa bangkit Renaisans, juga Reformasi Protestan yang digerakkan Martin Luther. Nilai-nilai individualisme menyebar, melahirkan liberalisme, merkantilisme, kompetisi habis-habisan, dan membenarkan sistem penindasan, atas nama glory, gold, and god. Hingga lahirlah Revolusi Industri.

Berbagai spektrum gerakan muncul sebagai resistensi terhadap kebangkitan paham individualisme. Sosialisme memberikan tanggapan terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan revolusi industri. Marx tidak menganggap revolusi dapat terwujud lewat penggantian struktur ekonomi saja, tetapi harus diiringi oleh perjuangan politik kaum buruh-tani menghimpun diri dalam sebuah partai revolusioner. Marxisme sebagai kekuatan besar ideologi dunia terpecah menjadi tiga kelompok besar: (1) Komunisme, atau Marxisme-Leninisme yang dianut mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme Demokrat (Eduard Bernstein) lahir di Jerman dengan ciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, muncul pada 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa.

Di kutub yang lain, anarkisme (a = tidak, tanpa, nihil, negasi; archos/archein = pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani) mencita-citakan tatanan sosial tanpa pemerintahan. “Dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia”, menurut Peter Kropotkin. “Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas”, menurut Errico Malatesta. Tokoh terbesar aliran anarkisme lainnya, Pierre Joseph Proudhon. Anarkisme sendiri banyak ragamnya, seperti: anarko-sindikalisme, anarkisme individualisme, post-anarchism (anarkisme klasik post-strukturalis), anarki pasca-kiri, anarko-feminisme, eko-anarkisme dan anarkisme hijau, serta anarkisme insureksioner. Metode-metode perjuangan khas anarkis adalah aksi serentak, DIY (Do It Youself), berkarya dan solidaritas. Seperti tampak dalam gerakan kelompok Black Bloc pada aksi protes pertemuan WTO di Seattle (1999), demonstrasi “Millions for Mumia Abu-Jamal”, dan KTM WTO ke7, Geneva Swiss (2009). Di Indonesia, gerakan anarkis paling besar adalah JAFNus (Jaringan Anti Fasis Nusantara) yang tersebar di 50 kota, mengusung isu-isu anti-Orde Baru, anti-IMF dan isu-isu buruh, petani dan kebudayaan.

Gerakan sosial terfragmentasi menjadi gerakan sosial lama yang semata-mata memperjuangkan perubahan tatanan ekonomi, sedang gerakan sosial baru (New Social Movement) mengusung isu-isu HAM, lingkungan, gender dan budaya.

Tabel 1. Evolusi konsep masyarakat sipil

Locke, Hobbes, Rousseau

Masyarakat sipil = masyarakat politik = Negara

Hegel, Marx

* Masyarakat sipil = masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Gramsci, Tocqueville

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Cohen, Arato

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik
* Negara


Neoliberalisme dan Globalisasi Perlawanan

Problem pokok neoliberalisme dapat disederhanakan dalam tiga aspek. Pertama, aspek ekonomi: penghapusan subsidi kebutuhan pokok dan proteksi pasar di-nol-persen-kan. Kedua, aspek politik: tekanan negara-negara maju, menghilangkan intervensi pemerintah di bidang ekonomi, dan penguatan alat-alat represi rakyat. Ketiga, aspek budaya: individualisme, eksistensialisme, konsumerisme, melalui media massa, dan pembelokan isu perang agama.

Neoliberalisme sekarang mewujud dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement, FTA). Indonesia telah melibatkan diri dalam berbagai FTA seperti AFTA (ASEAN FTA), AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand FTA), AKFTA (ASEAN-Korea FTA), IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement), ACFTA (ASEAN-China FTA), dan beberapa yang sedang dalam tahap negosiasi seperti ASEAN-EU FTA, Indonesia-US FTA, ASEAN-India FTA, dan Indonesia-EFTA (Swiss, Liechtenstein, Norwegia dan Islandia). Dengan pemberlakuan ACFTA, impor baja dari China pada 2010 diprediksi meroket 170,76% dibandingkan dengan realisasi impornya pada 2009, dari 554.000 ton menjadi 1,5 juta ton. Pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik turun dari 57% pada 2005 menjadi 23% pada 2008, termasuk juga mengancam produksi domestik bagi kosmetik dan jamu nasional seperti yang disampaikan oleh PERKOSMI (Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia). Dampaknya, 4,5 juta pekerja/buruh bakal terkena PHK pada 2010. Awal Maret 2010 sudah mencapai 68.332 orang yang terkena PHK dan 27.860 orang dirumahkan.

Globalisasi perlawanan menjadi tanggapan terhadap neoliberalisme. Di Eropa, gerakan mengambil bentuk kelompok-kelompok sipil penekan. Di Amerika Latin, terjadi gelombang pengambilalihan kekuasaan disusul dengan nasionalisasi industri. Di Dunia Islam berupa pertentangan Islam dengan kapitalisme, dipicu oleh peristiwa WTC 11 September 2001. Kelompok-kelompok yang cukup sukses seperti gerakan petani tak bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, gerakan Zapatista di Meksiko, dan aksi penolakan KTM ke-6 WTO di Hongkong oleh ribuan buruh migran Indonesia (2006). Terbentuk pula jaringan perlawanan sosial global, ditandai dengan penyatuan dua konfederasi buruh terbesar, diselenggarakannya Forum Sosial Dunia, pembentukan jaringan petani internasional La Via Campesina, atau jaringan lain seperti Our World Is Not For Sale dan APNFS.

Di Indonesia, gerakan masyarakat sipil bisa dirunut dalam sejarah dimulai dari pasca-perang para keluarga raja. Dari organisasi ronda Rekso Rumekso berevolusi menjadi gerakan massa terbesar Sarekat Islam, membangkitkan pergerakan ideologis dan berujung pada kemerdekaan semu 1945 dalam bayang-bayang Perang Dingin. Indonesia menjadi korbannya, hanya menjadi negara bagian imperialisme. Gerakan terpecah-pecah, sebagian di antaranya menjadi gerakan politis-ideologis menentang neoliberalisme, dengan tuntutan minimal proteksionisme dan solidaritas antarbangsa. Tuntutan perlawanan ekonomi: (1) subsidi kebutuhan rakyat; (2) industrialisasi nasional; (3) proteksi ekonomi nasional. Perlawanan politik: (1) mengembangkan politik independen; (2) membangun solidaritas internasional; (3) memengaruhi kebijakan agar mengarah pada kepentingan rakyat. Perlawanan budaya: (1) membangun semangat kolektivitas; (2) mengkritisi budaya individualistik-liberal; (3) mengikis budaya konsumeristik; (4) membangun ruang-ruang ekspresi independen.

Yang harus dilakukan oleh gerakan adalah memasalkan pendidikan politik-ekonomi budaya rakyat, pengorganisiran (sektoral dan kelas sosial), pembangunan pressure group, pembangunan gerakan sektoral, pensinergian gerakan antar sektor yang termaju (buruh, tani, kaum kiskin kota, mahasiswa, gerakan budaya dan adat), masyarakat ekonomi bekerja sama dengan masyarakat politik, perubahan kebijakan/pelurusan kekuasaan rakyat dan pembangunan ekonomi rakyat.

Wacana Kebangsaan dan Peran Kaum Intelektual

Dalam diskusi di kalangan mahasiswa, mengemuka wacana soal kebangsaan. Seorang penanggap mempertanyakan dikotak-kotakkannya bangsa Indonesia dalam sektor-sektor masyarakat seperti kaum buruh, petani, mahasiswa dan kaum miskin kota. Ia juga mengkritik seruan aksi yang dilontarkan Dekan FE Prof. Suyuti, bahwa demonstrasi hanyalah salah satu metode perjuangan, lebih penting adalah diskusi. Dua orang penanggap lain menepis klaim bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah selesai. Indonesia adalah multibangsa sebelum kemudian bergabung secara sukarela menjadi satu bangsa pada 20 Oktober 1928, dan menjadi negara pada 17 Agustus 1945. Tetapi capaian kemerdekaan 1945 itu dihancurkan pada 1966. “Bapak Dekan FE tadi itu sudah melangkah jauh, tapi kita anak-anak muda masih dipecah-belah, belum bersatu, hanya dipersatukan oleh bangsa,” tandas si penanggap.

“Pemerintahan ini tidur bertahun-tahun!” Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Al-Azhar Indonesia (FE-UAI) Prof. Suyuti Hasibuan, PhD mengungkapkan kegeramannya menyikapi diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA), dalam kuliah umum bertajuk “Orasi Budaya: Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global” yang diselenggarakan Institute for Global Justice (IGJ) bekerja sama dengan Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Prodi HI FISIP) UAI dan Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia Koordinator Wilayah II DKI Jakarta dan Banten (FKMHII Korwil II), Jumat 9 April 2010.

Kesepakatan ACFTA ditandatangani di Phnom Penh pada 4 November 2002, tapi pemerintah dan pengusaha baru mempersoalkan belakangan. “Sekarang malah minta-minta ‘sedekah’, minta diundur,” lanjut Prof. Suyuti, menunjuk pada Joint Commission Meeting di Yogyakarta, 3 April 2010. Kalangan akademik Al-Azhar diminta tidak berdiam diri, kalau perlu mendemo Departemen Perdagangan dan KADIN.

Sementara itu, Pak Chandra dari SPSI KEP (Kimia, Energi dan Pertambangan) mengingatkan kalangan mahasiswa akan sistem free market labour yang mempermudah rekrutmen pekerja, sekaligus mempermudah PHK. Dengan adanya FTA, akan masuk tenaga-tenaga dokter dari Filipina, mereka sudah mendapat ekstrakurikuler bahasa Indonesia, artinya siap masuk ke Indonesia. Sebagai konsumen kesehatan memang kita mendapat layanan lebih baik, tapi kita harus bersaing. Di sektor IT, akan masuk dari India, karena diiming-iming gaji 1,5 juta tanpa lembur dan bonus motor. Pasar tenaga kerja tergerus, banyak yang jadi sektor informal (home industry). Pasar dengan pekerjaan tidak tetap dibedakan dua: kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) dan long life time employment. Pada kenyataannya, pengawasan lemah, magang yang seharusnya maksimal 6 bulan bisa jadi bertahun-tahun.

Menanggapi perdebatan, Revi menegaskan posisi sentral kampus sebagai dunia ide dengan satu titik kesadaran akan bahaya FTA. Rencana kedatangan Perdana Menteri China ke Indonesia dan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010 bisa dijadikan momentum untuk mendesak dibentuknya Pansus FTA di DPR dengan kontrol mahasiswa dan rakyat. Dodi Mantra dari Program Studi HI FISIP Al-Azhar memaparkan kajiannya tentang ACFTA, diketahui bahwa yang diekspor Indonesia sebagian besar berupa bahan mentah, sedang impornya berupa produk manufaktur. Posisinya merugikan bangsa Indonesia. Sementara Wakil Rektor III Al-Azhar Dr. Ir. Ahmad H. Lubis, M.Sc mengungkapkan sisi lain bagaimana China mampu mempersiapkan human capital, dan mahasiswa Hubungan Internasional Al-Azhar saat ini disiapkan untuk mampu berkiprah dalam era globalisasi. M. Rahman Salim dari Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian (PSPP) Al-Azhar kembali menegaskan peran mahasiswa sebagai gerakan intelektual dalam resistensi terhadap globalisasi dan ACFTA. (sudi)

Selengkapnya......

Rabu, 27 Januari 2010

Selamatkan Listrik Rakyat dari Liberalisasi

Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 268 Tahun VI – 2010

Oleh Sudiarto *

Warga Jakarta dan sekitarnya masih dihantui oleh pemadaman listrik yang tiba-tiba oleh Perusaahaan Listrik Negara (PLN). Pelayanan listrik yang buruk ini dimulai paska gardu induk PLN Cawang terbakar pada 29 September tahun lalu. Banyak perkantoran terkena imbasnya dan terpaksa memulangkan pekerjanya lebih awal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang mencatat kerugian hingga Rp 10 miliar per hari khususnya di sektor industri tekstil dan plastik. Industri konveksi di Jelambar, Jakarta Barat, terpaksa berhenti beroperasi selama listrik padam, dan para pekerja borongannya pulang kampung karena menganggur. Pemadaman listrik juga mengganggu distribusi air bersih oleh dua perusahaan air minum Jakarta, Aetra dan PAM Lyonnaise Jaya (Kompas.com, 12/11/2009). PLN bahkan terpaksa menyewa genset untuk dipakai di sejumlah rumah sakit, sekolah, kampus, pasar induk dan kantor polisi serta tangsi militer (Pos Kota Online, 30/9/2009).

Terbakarnya gardu induk Cawang bukan satu-satunya peristiwa gangguan penyaluran listrik PLN di Jabotabek. Tepat satu hari sebelumnya, trafo interbus di gardu induk Kembangan, Jakarta Barat, juga terbakar (Pos Kota Online, 28/9/2009), disusul terbakarnya trafo PLTGU Muara Karang pada 9 November 2009. Ditambah dengan jadwal pemeliharaan di gardu induk Gandul, maka kemampuan PLN untuk menyalurkan listrik ke wilayah Jakarta pun menurun drastis. Pemadaman listrik bergilir menjadi jawaban yang paling mungkin dilakukan PLN.


Krisis listrik yang sebelumnya sangat dirasakan di luar Jakarta, khususnya di Luar Jawa dan Bali, kini tiba-tiba menghampiri pusat kekuasaan. Kelas menengah perkotaan ibukota yang selama ini menjadi barometer kesadaran politik Indonesia mulai merasakan kekesalannya, sebagaimana tampak dengan munculnya berbagai grup di situs jejaring sosial Facebook yang menggugat soal pemadaman listrik dan kinerja PLN. Bahkan akhirnya persoalan ini menjadi bahasan istana pada rapat kabinet terbatas, Selasa (17/11/2009). Menurut Presiden SBY, jika PLN tidak sanggup memperbaiki kinerjanya, swasta akan diberi peluang untuk berperan di ketenagalistrikan.

Namun, tampaknya SBY pura-pura lupa, bahwa Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) yang baru disahkan pada bulan September lalu memang telah memangkas kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana diamanatkan dalam UU Ketenagalistrikan sebelumnya (UU No 15/1985). Dalam UUK yang baru, daerah diperbolehkan mengoperasikan sendiri pembangkit, transmisi dan distribusi listrik hingga penjualan ke konsumen. Demikian pula dengan pihak swasta, sehingga menghilangkan monopoli PLN.

Keterlibatan swasta dalam usaha ketenagalistrikan sebetulnya sudah dimulai pada 1998, dikenal dengan sebutan Independence Power Producers (IPPs), seperti PT Cikarang Listrindo. Hanya saja, semua energi listrik yang dibangkitkan harus dijual kepada PLN sebagai satu-satunya pembeli (single buyer), kecuali jika mereka memiliki grid (jaringan) sendiri di luar grid PLN. Menurut Ahmad Daryoko, ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, model liberalisasi ketenagalistrikan yang dianut oleh UUK yang baru – dan sebetulnya juga sempat muncul dalam UUK 2002 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi – adalah dengan cara memecah PLN (unbundling). Sistem kelistrikan Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang sudah terintegrasi secara vertikal kini akan dipecah-pecah secara vertikal pula dengan banyak perusahaan menguasai pembangkit, transmisi, distribusi, dan ritel. Karena grid PLN menjadi bancakan banyak pihak, proses bisnis yang berkali-kali menyebabkan nilai pajak pun berlipat-lipat, dampaknya ke konsumen adalah tarif listrik yang jauh lebih mahal dari tarif dasar listrik (TDL) sekarang. Subsidi yang selama ini dinikmati rakyat – di mana rakyat hanya membayar Rp 650,00 per kWh dari biaya produksi Rp 2.600 per kWh – tak lagi bisa dinikmati, jika nantinya pembangkit dijual ke asing. Anak perusahaan PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), dikabarkan akan segera dijual kepada asing.

Pola kartel sangat mungkin terjadi di antara banyak perusahaan, akibatnya pada beban puncak (peak load) pasokan listrik (supply) bisa saja tidak memenuhi permintaan (demand), dan pada titik ekstremnya terjadi blackout. Negara bagian California di Amerika Serikat memulai liberalisasi pada 1996 dan terjadi blackout masif pada 2000-2001, di Brazil privatisasi pada 1992 menciptakan 10 hari blackout pada 1999 dan 3 bulan pada 2001. Sedangkan di Selandia Baru privatisasi pada 1986 diikuti dengan blackout pada 1998.

Untuk menjawab persoalan krisis listrik, pemerintah menjanjikan akan melakukan percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap kedua berbasiskan batubara, dengan dominasi swasta (IPP) yang sangat kuat. Dengan adanya UUK yang baru, PLN hanya akan menjadi salah satu pemain di antara banyak perusahaan swasta dan asing. Ibaratnya seperti Pertamina dan ritel migas asing (Shell, Petronas, Total). Pemerintah tak punya lagi kewenangan untuk mengontrol, tarif dasar listrik sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Energi listrik sebagai hajat hidup orang banyak tak lagi dikuasai negara dan tak lagi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melainkan untuk sebesar-besarnya profit.

Setelah sekarang dihantam pemadaman bergilir, berikutnya, rakyat akan dikenai tarif berlipat-lipat untuk dapat menikmati listrik. Di sisi lain, industrialisasi sangat bergantung pada energi listrik yang murah. Dengan tarif listrik yang membumbung, biaya produksi akan dibebankan kepada konsumen, dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang lebih murah. Slogan PLN, “Listrik untuk kehidupan yang lebih baik,” sepertinya hanya akan tinggal kata-kata manis belaka.

* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Selengkapnya......

Senin, 02 November 2009

Facebook dan Kesadaran Politik yang (bakal) Menguap

Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 247 Tahun V – 2009

Oleh Sudiarto *

Sejak booming pada awal 2009, Facebook kini menjadi situs jejaring sosial terbesar di Indonesia dengan jumlah akun mencapai 10 juta orang (Republika Online, 29 Oktober 2009). Jejaring sosial yang semula dibuat oleh Mark Zuckenberg pada pertengahan 2004 untuk komunitas mahasiswa di kampusnya, Harvard College (Amerika Serikat), kemudian menjadi bisnis yang mendunia.

Kritisi media menyebut fenomena Facebook sebagai “kapitalisme informasi” yang menginvasi kehidupan sosial, menjadikan sesuatu yang privat menjadi publik. Berbeda dengan situs jejaring sosial populer pendahulunya, Friendster, desain Facebook lebih sederhana tetapi ditunjang dengan banyaknya fitur dalam satu halaman. Meng-update status dan memberi komentar dengan spontan menjadi keunggulan Facebook, di samping fitur chatting yang tidak tersedia pada layanan Friendster.

Kehadiran Facebook di Indonesia dengan tampilan barunya, bersama meluasnya penjualan Blackberry dan smartphone sejenisnya, bertepatan dengan hajatan besar Pemilu 2009. Media massa menyebut-nyebut keberhasilan tim kampanye Barack Obama memanfaatkan Facebook dalam memenangkan pemilihan presiden AS pada November 2008. Di Indonesia, perubahan dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak dalam pemilu lalu memberi dorongan bagi para caleg berlomba-lomba mengkampanyekan diri, dan Facebook menjadi sarana yang tepat untuk berkampanye di dunia maya. Fitur page memberi kesempatan bagi para caleg mempromosikan diri dan menggalang fans sebanyak-banyaknya, di samping tentu saja lewat akun pribadi. Meskipun tidak berkorelasi langsung dengan perolehan suara, banyak caleg yang sudah lebih dulu populer juga menggunakan Facebook untuk meningkatkan nilai jualnya.

Di sisi lain, para aktivis dan “mantan aktivis,” menemukan sarana baru untuk menuangkan unek-uneknya melalui Facebook. Baik melalui fitur unggulan update status dan komentar, maupun fitur-fitur seperti catatan (notes), tautan (link), foto dan grup. Mengkampanyekan program-program gerakan maupun saling berdebat dan mencela, dengan sarkasme yang paling vulgar sekalipun.

Sifat guyub bangsa Indonesia menemukan salurannya di media baru jejaring sosial ini. Facebook, sesuai slogannya, mempertemukan kembali sahabat yang lama tak berjumpa, teman-teman kuliah dan semasa sekolah. Meng-upload foto-foto lama, dengan potongan rambut dan dandanan jadul, disertai penandaan (tag) untuk mengajak teman-teman melihatnya, menjadi sensasi tersendiri untuk bernostalgia. Setelah saling meng-add teman, berbalas komentar, kemudian merancang jadwal reuni di mal-mal. Ketika bencana gempa melanda selatan Jawa Barat dan Sumatera Barat, Facebook menjadi sarana untuk menggalang solidaritas. Dari sekadar ucapan simpati dan saling menanyakan kabar keluarga teman-teman, hingga aksi penyaluran bantuan langsung ke lapangan.

Tidak berhenti sekadar ajang silaturahmi dan media kampanye, Facebook juga menjadi sarana untuk penggalangan dukungan – “aksi dunia maya.” Jika sebelumnya dikenal model petisi online, kali ini kalangan blogger yang tersentak dengan penahanan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang mengeluhkan layanan di sebuah rumah sakit melalui media email, membuat grup dukungan di Facebook. Dalam hitungan jam sejak grup dibuat, dukungan mengalir deras, puluhan ribu pengguna Facebook mendaftar menjadi anggota grup – bertambah terus hingga ratusan ribu dalam hitungan hari – dan memberikan berbagai pernyataan dukungan. Ketika televisi masih sibuk menyiarkan gosip Manohara, gencarnya dukungan terhadap Prita melalui grup Facebook membuat dua capres rival SBY – Megawati dan Jusuf Kalla – bersimpati dan menyerukan pembebasan. Prita pun dibebaskan, meskipun hanya penangguhan penahanan.

Keberhasilan grup Facebook dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa kembali ditunjukkan dalam penggalangan dukungan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditahan oleh Mabes Polri, Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah. Rivalitas antara lembaga kepolisian dan KPK yang sudah berlangsung beberapa bulan meledak ketika tersebar transkrip rekaman pembicaraan untuk merekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK. Presiden SBY yang baru saja terpilih untuk masa jabatan kedua terus bersikap membiarkan fungsi KPK dilemahkan. Sikap kepala batu Kapolri dan Presiden menuai protes luas dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam sehari, grup dukungan terhadap Bibit dan Chandra meraih seratus ribu anggota Facebook, dan terus bertambah.

Apakah Facebook sebagai sebuah media komunikasi sosial akan menunjukkan ketangguhannya, dan menjadi musuh penguasa, sebagaimana terjadi di Iran pada pemilihan presiden lalu? Karena ketakutan bahwa capres dari kalangan reformis bakal meraih dukungan luas dari kalangan muda, pemerintahan konservatif Iran memblokir berbagai situs terutama Twitter dan Facebook. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan kemampuan teknologi komunikasi mendorong perubahan sosial. Keruntuhan Blok Timur dan bubarnya Uni Soviet tidak lepas dari meluasnya jaringan televisi satelit yang dipancarkan dari negara-negara Blok Barat. Begitu pula kejatuhan Suharto pada 1998 dibantu oleh penggunaan internet, khususnya milis Apakabar yang fenomenal saat itu. Mobilisasi massa untuk menjatuhkan Presiden Estrada di Filipina dilakukan dengan teknologi pesan pendek (SMS) telepon seluler.

Sebagai media komunikasi dunia maya, konten yang ditampilkan Facebook adalah cerminan dari realitas di kehidupan nyata. Jika sebelumnya cetusan-cetusan dan keluhan hanya dilampiaskan dalam umpatan dan sumpah-serapah, Facebook membuatnya telanjang, vulgar, tertampil apa adanya. Sebuah grup dukungan bisa menjadi alat ukur sederhana untuk menunjukkan tingkat kesadaran politik warga negara, meskipun terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang mampu mengakses internet. Tetapi membayangkan bahwa “aksi dunia maya” akan otomatis bertransformasi menjadi “aksi dunia nyata,” dalam bentuk aksi-aksi massa di jalan-jalan, adalah terlalu optimistik. Kehadiran Facebook memang memperluas kesadaran politik, tetapi bukan faktor penentu. Aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan politik riil-lah yang kemudian menentukan jalannya perubahan sosial. Gejolak sosial di Eropa Timur dan kejatuhan berbagai rezim tidak saja didorong oleh meluasnya media komunikasi, tetapi juga kemampuan gerakan oposisi untuk mengkanalisasinya lewat aksi-aksi massa.

Realitas politik Indonesia paska Pemilu 2009 menghasilkan sebuah rezim dengan kecenderungan menjadi bentuk baru otoritarianisme. Sejumlah kalangan menyebutnya Orde Baru jilid dua, sebagai sebuah model rezim tanpa kehadiran oposisi. Hilangnya kekuatan oposisi di parlemen dan di sisi lain masih lemah dan terpecah-pecahnya gerakan ekstra-parlementer membuat kesadaran politik yang menguat di tingkat massa-rakyat tidak menemukan kanalisasinya. Jika gerakan ekstra-parlementer tidak bahu-membahu untuk bersatu menjadi kekuatan oposisi alternatif di luar parlemen, kesadaran yang tercermin dalam “aksi dunia maya” melalui Facebook dikhawatirkan akan menguap begitu saja, menghasilkan apatisme publik.

* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Selengkapnya......

Kamis, 01 Januari 2009

Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi di Indonesia

Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi), Edisi Januari 2009








Judul : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia – Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)

Cetakan : I (Januari 2008)

Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)


Menulis buku, terutama topik yang cukup serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia. Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul “Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007, memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK, dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara sendiri menanggapi situasi.

Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme, politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998 dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto, menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal. Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967 GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590, Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$ 1.500 dan Indonesia US$ 1.100!

Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan Indonesia

John Pilger, wartawan terkemuka berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris, membuat film dokumenter tentang Indonesia, The New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa, diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar...”

Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global, padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental, dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan ekonominya.

Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru, tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya (US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari bank komersial yang mengenakan persyaratan berat: berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144 triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun lebih.

Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.

Beban utang ini menggelayuti pemerintahan pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp 61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias. Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22 triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp 95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.

Profesor William R. Liddle menyebut kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja, sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329 basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29% lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan, malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis (hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.

Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%, Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana. Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas. Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala program yang meringankan beban rakyat dan lihai mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan) tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun, perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.

Jalan Baru Seperti Apa?

Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan korporatokrasi global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model generik Konsensus Washington. Selama tidak ada perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi, Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat.

Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang, namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang “kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab demi bab.

Tapi, untuk memberikan gambaran apa adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya. Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.

Selengkapnya......

Selamatkan Indonesia dari Cengkeraman Korporatokrasi

Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi) Edisi Januari 2009









Judul : Agenda Mendesak Bangsa - Selamatkan Indonesia!

Penulis : Mohammad Amien Rais

Penerbit : PPSK Pers (Yogyakarta)

Cetakan : II (April 2008)

Tebal : 298 halaman + xv


“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?” Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan permenungannya dalam buku ini. Mengambil perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat. Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh, yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap, yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.

Nasionalisme dangkal ini yang membuat kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan. Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan, migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.

“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanah-tanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan korporatokrasi.

Elemen-elemen Korporatokrasi

Korporatokrasi, menurut John Perkins (2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi, perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilai-nilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri. Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi. Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002) di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja, karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli, pemalsuan akuntansi, pencucian uang, perusakan lingkungan, dan sebagainya.

Kedua, pemerintahan. Meskipun secara teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan. David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah Meksiko mengeluarkan sedikitnya 25 juta dolar sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7), untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang lebih menguntungkan korporasi.

Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan internasional. Di antara banyak bank korporat, dua lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment programs).

Keempat, militer. Dalam buku The Power Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961, memperingatkan akan bahaya military-industrial complex. Contoh mutakhir bagaimana kompleks militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad, Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih “rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root), dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan juta dolar.

Kelima, media massa. Pemikir konservatif Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20 tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah “propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi. Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC (Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN (AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M, Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi. Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan, produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog (musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog (mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-elus, tidak lagi berbahaya.

Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan. Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan sasaran oleh kekuatan korporat untuk mencetak sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi. Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh universitas setelah mengalami himpitan finansial. Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan ekonomi dan politik.

Ketujuh, elite nasional bermental inlander. Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya. Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah, membuahkan kebingungan, kelembaman (inertia), dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir, berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington. Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya presidennya sendiri adalah kepala bandit.

Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa

Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara). Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing. Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington, dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi investasi (era SBY-JK).

Amien Rais menawarkan sejumlah saran demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional. Berbagai Kontrak Karya pertambangan dan KPS (Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan bangsa. Bahkan demi kepentingan pelestarian lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang, dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang (debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri.

Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur, dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan. Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa. Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum, gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO), hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang ancaman globalisasi dan korporatokrasi, sehingga diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan aktivis dan intelektual.(*)

Selengkapnya......