Senin, 26 April 2010

Orasi Budaya Revitriyoso Husodo: “Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global”

Sumber: Majalah Publik, Edisi II (Agustus-September 2009)


Individualisme vs Kolektivisme

Dalam orasi yang disampaikan di depan seratusan mahasiswa Al-Azhar dan perwakilan beberapa kampus lainnya, Revitriyoso Husodo memberikan paparan mulai dari menjelaskan bagaimana munculnya paham individualisme, yang bertentangan dengan semangat kolektivisme. Fakta-fakta kekinian menunjukkan Bill Gates meraih keuntungan lebih dari 5.000 dolar tiap detik, artinya dia merugi kalau harus membungkukkan badan untuk memungut uang 100 dolar yang jatuh di jalan. Di sisi lain setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan, sedangkan setiap ekor sapi di Eropa mendapat subsidi 2,2 dolar tiap hari, lebih tinggi dari pendapatan dari 1,2 milyar rakyat miskin di dunia.

Sejak masa purbakala, barangkali sejak zaman Kabil dan Habit, atau sejak Cro Magnon menyapu bersih Neanderthal sekitar satu juta tahun yang lalu, yang menjadi cikal bakal Homo sapiens, sifat keserakahan dan saling bantu menjadi dua kutub yang selalu berperang demi pertahanan diri umat manusia. Setelah berakhirnya Perang Salib, di Eropa bangkit Renaisans, juga Reformasi Protestan yang digerakkan Martin Luther. Nilai-nilai individualisme menyebar, melahirkan liberalisme, merkantilisme, kompetisi habis-habisan, dan membenarkan sistem penindasan, atas nama glory, gold, and god. Hingga lahirlah Revolusi Industri.

Berbagai spektrum gerakan muncul sebagai resistensi terhadap kebangkitan paham individualisme. Sosialisme memberikan tanggapan terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan revolusi industri. Marx tidak menganggap revolusi dapat terwujud lewat penggantian struktur ekonomi saja, tetapi harus diiringi oleh perjuangan politik kaum buruh-tani menghimpun diri dalam sebuah partai revolusioner. Marxisme sebagai kekuatan besar ideologi dunia terpecah menjadi tiga kelompok besar: (1) Komunisme, atau Marxisme-Leninisme yang dianut mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme Demokrat (Eduard Bernstein) lahir di Jerman dengan ciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, muncul pada 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa.

Di kutub yang lain, anarkisme (a = tidak, tanpa, nihil, negasi; archos/archein = pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani) mencita-citakan tatanan sosial tanpa pemerintahan. “Dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia”, menurut Peter Kropotkin. “Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas”, menurut Errico Malatesta. Tokoh terbesar aliran anarkisme lainnya, Pierre Joseph Proudhon. Anarkisme sendiri banyak ragamnya, seperti: anarko-sindikalisme, anarkisme individualisme, post-anarchism (anarkisme klasik post-strukturalis), anarki pasca-kiri, anarko-feminisme, eko-anarkisme dan anarkisme hijau, serta anarkisme insureksioner. Metode-metode perjuangan khas anarkis adalah aksi serentak, DIY (Do It Youself), berkarya dan solidaritas. Seperti tampak dalam gerakan kelompok Black Bloc pada aksi protes pertemuan WTO di Seattle (1999), demonstrasi “Millions for Mumia Abu-Jamal”, dan KTM WTO ke7, Geneva Swiss (2009). Di Indonesia, gerakan anarkis paling besar adalah JAFNus (Jaringan Anti Fasis Nusantara) yang tersebar di 50 kota, mengusung isu-isu anti-Orde Baru, anti-IMF dan isu-isu buruh, petani dan kebudayaan.

Gerakan sosial terfragmentasi menjadi gerakan sosial lama yang semata-mata memperjuangkan perubahan tatanan ekonomi, sedang gerakan sosial baru (New Social Movement) mengusung isu-isu HAM, lingkungan, gender dan budaya.

Tabel 1. Evolusi konsep masyarakat sipil

Locke, Hobbes, Rousseau

Masyarakat sipil = masyarakat politik = Negara

Hegel, Marx

* Masyarakat sipil = masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Gramsci, Tocqueville

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik

Cohen, Arato

* Masyarakat sipil
* Masyarakat ekonomi
* Masyarakat politik
* Negara


Neoliberalisme dan Globalisasi Perlawanan

Problem pokok neoliberalisme dapat disederhanakan dalam tiga aspek. Pertama, aspek ekonomi: penghapusan subsidi kebutuhan pokok dan proteksi pasar di-nol-persen-kan. Kedua, aspek politik: tekanan negara-negara maju, menghilangkan intervensi pemerintah di bidang ekonomi, dan penguatan alat-alat represi rakyat. Ketiga, aspek budaya: individualisme, eksistensialisme, konsumerisme, melalui media massa, dan pembelokan isu perang agama.

Neoliberalisme sekarang mewujud dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement, FTA). Indonesia telah melibatkan diri dalam berbagai FTA seperti AFTA (ASEAN FTA), AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand FTA), AKFTA (ASEAN-Korea FTA), IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement), ACFTA (ASEAN-China FTA), dan beberapa yang sedang dalam tahap negosiasi seperti ASEAN-EU FTA, Indonesia-US FTA, ASEAN-India FTA, dan Indonesia-EFTA (Swiss, Liechtenstein, Norwegia dan Islandia). Dengan pemberlakuan ACFTA, impor baja dari China pada 2010 diprediksi meroket 170,76% dibandingkan dengan realisasi impornya pada 2009, dari 554.000 ton menjadi 1,5 juta ton. Pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik turun dari 57% pada 2005 menjadi 23% pada 2008, termasuk juga mengancam produksi domestik bagi kosmetik dan jamu nasional seperti yang disampaikan oleh PERKOSMI (Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia). Dampaknya, 4,5 juta pekerja/buruh bakal terkena PHK pada 2010. Awal Maret 2010 sudah mencapai 68.332 orang yang terkena PHK dan 27.860 orang dirumahkan.

Globalisasi perlawanan menjadi tanggapan terhadap neoliberalisme. Di Eropa, gerakan mengambil bentuk kelompok-kelompok sipil penekan. Di Amerika Latin, terjadi gelombang pengambilalihan kekuasaan disusul dengan nasionalisasi industri. Di Dunia Islam berupa pertentangan Islam dengan kapitalisme, dipicu oleh peristiwa WTC 11 September 2001. Kelompok-kelompok yang cukup sukses seperti gerakan petani tak bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, gerakan Zapatista di Meksiko, dan aksi penolakan KTM ke-6 WTO di Hongkong oleh ribuan buruh migran Indonesia (2006). Terbentuk pula jaringan perlawanan sosial global, ditandai dengan penyatuan dua konfederasi buruh terbesar, diselenggarakannya Forum Sosial Dunia, pembentukan jaringan petani internasional La Via Campesina, atau jaringan lain seperti Our World Is Not For Sale dan APNFS.

Di Indonesia, gerakan masyarakat sipil bisa dirunut dalam sejarah dimulai dari pasca-perang para keluarga raja. Dari organisasi ronda Rekso Rumekso berevolusi menjadi gerakan massa terbesar Sarekat Islam, membangkitkan pergerakan ideologis dan berujung pada kemerdekaan semu 1945 dalam bayang-bayang Perang Dingin. Indonesia menjadi korbannya, hanya menjadi negara bagian imperialisme. Gerakan terpecah-pecah, sebagian di antaranya menjadi gerakan politis-ideologis menentang neoliberalisme, dengan tuntutan minimal proteksionisme dan solidaritas antarbangsa. Tuntutan perlawanan ekonomi: (1) subsidi kebutuhan rakyat; (2) industrialisasi nasional; (3) proteksi ekonomi nasional. Perlawanan politik: (1) mengembangkan politik independen; (2) membangun solidaritas internasional; (3) memengaruhi kebijakan agar mengarah pada kepentingan rakyat. Perlawanan budaya: (1) membangun semangat kolektivitas; (2) mengkritisi budaya individualistik-liberal; (3) mengikis budaya konsumeristik; (4) membangun ruang-ruang ekspresi independen.

Yang harus dilakukan oleh gerakan adalah memasalkan pendidikan politik-ekonomi budaya rakyat, pengorganisiran (sektoral dan kelas sosial), pembangunan pressure group, pembangunan gerakan sektoral, pensinergian gerakan antar sektor yang termaju (buruh, tani, kaum kiskin kota, mahasiswa, gerakan budaya dan adat), masyarakat ekonomi bekerja sama dengan masyarakat politik, perubahan kebijakan/pelurusan kekuasaan rakyat dan pembangunan ekonomi rakyat.

Wacana Kebangsaan dan Peran Kaum Intelektual

Dalam diskusi di kalangan mahasiswa, mengemuka wacana soal kebangsaan. Seorang penanggap mempertanyakan dikotak-kotakkannya bangsa Indonesia dalam sektor-sektor masyarakat seperti kaum buruh, petani, mahasiswa dan kaum miskin kota. Ia juga mengkritik seruan aksi yang dilontarkan Dekan FE Prof. Suyuti, bahwa demonstrasi hanyalah salah satu metode perjuangan, lebih penting adalah diskusi. Dua orang penanggap lain menepis klaim bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah selesai. Indonesia adalah multibangsa sebelum kemudian bergabung secara sukarela menjadi satu bangsa pada 20 Oktober 1928, dan menjadi negara pada 17 Agustus 1945. Tetapi capaian kemerdekaan 1945 itu dihancurkan pada 1966. “Bapak Dekan FE tadi itu sudah melangkah jauh, tapi kita anak-anak muda masih dipecah-belah, belum bersatu, hanya dipersatukan oleh bangsa,” tandas si penanggap.

“Pemerintahan ini tidur bertahun-tahun!” Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Al-Azhar Indonesia (FE-UAI) Prof. Suyuti Hasibuan, PhD mengungkapkan kegeramannya menyikapi diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA), dalam kuliah umum bertajuk “Orasi Budaya: Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global” yang diselenggarakan Institute for Global Justice (IGJ) bekerja sama dengan Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Prodi HI FISIP) UAI dan Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia Koordinator Wilayah II DKI Jakarta dan Banten (FKMHII Korwil II), Jumat 9 April 2010.

Kesepakatan ACFTA ditandatangani di Phnom Penh pada 4 November 2002, tapi pemerintah dan pengusaha baru mempersoalkan belakangan. “Sekarang malah minta-minta ‘sedekah’, minta diundur,” lanjut Prof. Suyuti, menunjuk pada Joint Commission Meeting di Yogyakarta, 3 April 2010. Kalangan akademik Al-Azhar diminta tidak berdiam diri, kalau perlu mendemo Departemen Perdagangan dan KADIN.

Sementara itu, Pak Chandra dari SPSI KEP (Kimia, Energi dan Pertambangan) mengingatkan kalangan mahasiswa akan sistem free market labour yang mempermudah rekrutmen pekerja, sekaligus mempermudah PHK. Dengan adanya FTA, akan masuk tenaga-tenaga dokter dari Filipina, mereka sudah mendapat ekstrakurikuler bahasa Indonesia, artinya siap masuk ke Indonesia. Sebagai konsumen kesehatan memang kita mendapat layanan lebih baik, tapi kita harus bersaing. Di sektor IT, akan masuk dari India, karena diiming-iming gaji 1,5 juta tanpa lembur dan bonus motor. Pasar tenaga kerja tergerus, banyak yang jadi sektor informal (home industry). Pasar dengan pekerjaan tidak tetap dibedakan dua: kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) dan long life time employment. Pada kenyataannya, pengawasan lemah, magang yang seharusnya maksimal 6 bulan bisa jadi bertahun-tahun.

Menanggapi perdebatan, Revi menegaskan posisi sentral kampus sebagai dunia ide dengan satu titik kesadaran akan bahaya FTA. Rencana kedatangan Perdana Menteri China ke Indonesia dan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010 bisa dijadikan momentum untuk mendesak dibentuknya Pansus FTA di DPR dengan kontrol mahasiswa dan rakyat. Dodi Mantra dari Program Studi HI FISIP Al-Azhar memaparkan kajiannya tentang ACFTA, diketahui bahwa yang diekspor Indonesia sebagian besar berupa bahan mentah, sedang impornya berupa produk manufaktur. Posisinya merugikan bangsa Indonesia. Sementara Wakil Rektor III Al-Azhar Dr. Ir. Ahmad H. Lubis, M.Sc mengungkapkan sisi lain bagaimana China mampu mempersiapkan human capital, dan mahasiswa Hubungan Internasional Al-Azhar saat ini disiapkan untuk mampu berkiprah dalam era globalisasi. M. Rahman Salim dari Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian (PSPP) Al-Azhar kembali menegaskan peran mahasiswa sebagai gerakan intelektual dalam resistensi terhadap globalisasi dan ACFTA. (sudi)

Selengkapnya......