Rabu, 27 Januari 2010

Selamatkan Listrik Rakyat dari Liberalisasi

Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 268 Tahun VI – 2010

Oleh Sudiarto *

Warga Jakarta dan sekitarnya masih dihantui oleh pemadaman listrik yang tiba-tiba oleh Perusaahaan Listrik Negara (PLN). Pelayanan listrik yang buruk ini dimulai paska gardu induk PLN Cawang terbakar pada 29 September tahun lalu. Banyak perkantoran terkena imbasnya dan terpaksa memulangkan pekerjanya lebih awal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang mencatat kerugian hingga Rp 10 miliar per hari khususnya di sektor industri tekstil dan plastik. Industri konveksi di Jelambar, Jakarta Barat, terpaksa berhenti beroperasi selama listrik padam, dan para pekerja borongannya pulang kampung karena menganggur. Pemadaman listrik juga mengganggu distribusi air bersih oleh dua perusahaan air minum Jakarta, Aetra dan PAM Lyonnaise Jaya (Kompas.com, 12/11/2009). PLN bahkan terpaksa menyewa genset untuk dipakai di sejumlah rumah sakit, sekolah, kampus, pasar induk dan kantor polisi serta tangsi militer (Pos Kota Online, 30/9/2009).

Terbakarnya gardu induk Cawang bukan satu-satunya peristiwa gangguan penyaluran listrik PLN di Jabotabek. Tepat satu hari sebelumnya, trafo interbus di gardu induk Kembangan, Jakarta Barat, juga terbakar (Pos Kota Online, 28/9/2009), disusul terbakarnya trafo PLTGU Muara Karang pada 9 November 2009. Ditambah dengan jadwal pemeliharaan di gardu induk Gandul, maka kemampuan PLN untuk menyalurkan listrik ke wilayah Jakarta pun menurun drastis. Pemadaman listrik bergilir menjadi jawaban yang paling mungkin dilakukan PLN.


Krisis listrik yang sebelumnya sangat dirasakan di luar Jakarta, khususnya di Luar Jawa dan Bali, kini tiba-tiba menghampiri pusat kekuasaan. Kelas menengah perkotaan ibukota yang selama ini menjadi barometer kesadaran politik Indonesia mulai merasakan kekesalannya, sebagaimana tampak dengan munculnya berbagai grup di situs jejaring sosial Facebook yang menggugat soal pemadaman listrik dan kinerja PLN. Bahkan akhirnya persoalan ini menjadi bahasan istana pada rapat kabinet terbatas, Selasa (17/11/2009). Menurut Presiden SBY, jika PLN tidak sanggup memperbaiki kinerjanya, swasta akan diberi peluang untuk berperan di ketenagalistrikan.

Namun, tampaknya SBY pura-pura lupa, bahwa Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) yang baru disahkan pada bulan September lalu memang telah memangkas kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana diamanatkan dalam UU Ketenagalistrikan sebelumnya (UU No 15/1985). Dalam UUK yang baru, daerah diperbolehkan mengoperasikan sendiri pembangkit, transmisi dan distribusi listrik hingga penjualan ke konsumen. Demikian pula dengan pihak swasta, sehingga menghilangkan monopoli PLN.

Keterlibatan swasta dalam usaha ketenagalistrikan sebetulnya sudah dimulai pada 1998, dikenal dengan sebutan Independence Power Producers (IPPs), seperti PT Cikarang Listrindo. Hanya saja, semua energi listrik yang dibangkitkan harus dijual kepada PLN sebagai satu-satunya pembeli (single buyer), kecuali jika mereka memiliki grid (jaringan) sendiri di luar grid PLN. Menurut Ahmad Daryoko, ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, model liberalisasi ketenagalistrikan yang dianut oleh UUK yang baru – dan sebetulnya juga sempat muncul dalam UUK 2002 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi – adalah dengan cara memecah PLN (unbundling). Sistem kelistrikan Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang sudah terintegrasi secara vertikal kini akan dipecah-pecah secara vertikal pula dengan banyak perusahaan menguasai pembangkit, transmisi, distribusi, dan ritel. Karena grid PLN menjadi bancakan banyak pihak, proses bisnis yang berkali-kali menyebabkan nilai pajak pun berlipat-lipat, dampaknya ke konsumen adalah tarif listrik yang jauh lebih mahal dari tarif dasar listrik (TDL) sekarang. Subsidi yang selama ini dinikmati rakyat – di mana rakyat hanya membayar Rp 650,00 per kWh dari biaya produksi Rp 2.600 per kWh – tak lagi bisa dinikmati, jika nantinya pembangkit dijual ke asing. Anak perusahaan PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), dikabarkan akan segera dijual kepada asing.

Pola kartel sangat mungkin terjadi di antara banyak perusahaan, akibatnya pada beban puncak (peak load) pasokan listrik (supply) bisa saja tidak memenuhi permintaan (demand), dan pada titik ekstremnya terjadi blackout. Negara bagian California di Amerika Serikat memulai liberalisasi pada 1996 dan terjadi blackout masif pada 2000-2001, di Brazil privatisasi pada 1992 menciptakan 10 hari blackout pada 1999 dan 3 bulan pada 2001. Sedangkan di Selandia Baru privatisasi pada 1986 diikuti dengan blackout pada 1998.

Untuk menjawab persoalan krisis listrik, pemerintah menjanjikan akan melakukan percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap kedua berbasiskan batubara, dengan dominasi swasta (IPP) yang sangat kuat. Dengan adanya UUK yang baru, PLN hanya akan menjadi salah satu pemain di antara banyak perusahaan swasta dan asing. Ibaratnya seperti Pertamina dan ritel migas asing (Shell, Petronas, Total). Pemerintah tak punya lagi kewenangan untuk mengontrol, tarif dasar listrik sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Energi listrik sebagai hajat hidup orang banyak tak lagi dikuasai negara dan tak lagi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melainkan untuk sebesar-besarnya profit.

Setelah sekarang dihantam pemadaman bergilir, berikutnya, rakyat akan dikenai tarif berlipat-lipat untuk dapat menikmati listrik. Di sisi lain, industrialisasi sangat bergantung pada energi listrik yang murah. Dengan tarif listrik yang membumbung, biaya produksi akan dibebankan kepada konsumen, dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang lebih murah. Slogan PLN, “Listrik untuk kehidupan yang lebih baik,” sepertinya hanya akan tinggal kata-kata manis belaka.

* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Selengkapnya......