Senin, 02 November 2009

Facebook dan Kesadaran Politik yang (bakal) Menguap

Sumber: Bulletin SADAR Edisi: 247 Tahun V – 2009

Oleh Sudiarto *

Sejak booming pada awal 2009, Facebook kini menjadi situs jejaring sosial terbesar di Indonesia dengan jumlah akun mencapai 10 juta orang (Republika Online, 29 Oktober 2009). Jejaring sosial yang semula dibuat oleh Mark Zuckenberg pada pertengahan 2004 untuk komunitas mahasiswa di kampusnya, Harvard College (Amerika Serikat), kemudian menjadi bisnis yang mendunia.

Kritisi media menyebut fenomena Facebook sebagai “kapitalisme informasi” yang menginvasi kehidupan sosial, menjadikan sesuatu yang privat menjadi publik. Berbeda dengan situs jejaring sosial populer pendahulunya, Friendster, desain Facebook lebih sederhana tetapi ditunjang dengan banyaknya fitur dalam satu halaman. Meng-update status dan memberi komentar dengan spontan menjadi keunggulan Facebook, di samping fitur chatting yang tidak tersedia pada layanan Friendster.

Kehadiran Facebook di Indonesia dengan tampilan barunya, bersama meluasnya penjualan Blackberry dan smartphone sejenisnya, bertepatan dengan hajatan besar Pemilu 2009. Media massa menyebut-nyebut keberhasilan tim kampanye Barack Obama memanfaatkan Facebook dalam memenangkan pemilihan presiden AS pada November 2008. Di Indonesia, perubahan dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak dalam pemilu lalu memberi dorongan bagi para caleg berlomba-lomba mengkampanyekan diri, dan Facebook menjadi sarana yang tepat untuk berkampanye di dunia maya. Fitur page memberi kesempatan bagi para caleg mempromosikan diri dan menggalang fans sebanyak-banyaknya, di samping tentu saja lewat akun pribadi. Meskipun tidak berkorelasi langsung dengan perolehan suara, banyak caleg yang sudah lebih dulu populer juga menggunakan Facebook untuk meningkatkan nilai jualnya.

Di sisi lain, para aktivis dan “mantan aktivis,” menemukan sarana baru untuk menuangkan unek-uneknya melalui Facebook. Baik melalui fitur unggulan update status dan komentar, maupun fitur-fitur seperti catatan (notes), tautan (link), foto dan grup. Mengkampanyekan program-program gerakan maupun saling berdebat dan mencela, dengan sarkasme yang paling vulgar sekalipun.

Sifat guyub bangsa Indonesia menemukan salurannya di media baru jejaring sosial ini. Facebook, sesuai slogannya, mempertemukan kembali sahabat yang lama tak berjumpa, teman-teman kuliah dan semasa sekolah. Meng-upload foto-foto lama, dengan potongan rambut dan dandanan jadul, disertai penandaan (tag) untuk mengajak teman-teman melihatnya, menjadi sensasi tersendiri untuk bernostalgia. Setelah saling meng-add teman, berbalas komentar, kemudian merancang jadwal reuni di mal-mal. Ketika bencana gempa melanda selatan Jawa Barat dan Sumatera Barat, Facebook menjadi sarana untuk menggalang solidaritas. Dari sekadar ucapan simpati dan saling menanyakan kabar keluarga teman-teman, hingga aksi penyaluran bantuan langsung ke lapangan.

Tidak berhenti sekadar ajang silaturahmi dan media kampanye, Facebook juga menjadi sarana untuk penggalangan dukungan – “aksi dunia maya.” Jika sebelumnya dikenal model petisi online, kali ini kalangan blogger yang tersentak dengan penahanan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang mengeluhkan layanan di sebuah rumah sakit melalui media email, membuat grup dukungan di Facebook. Dalam hitungan jam sejak grup dibuat, dukungan mengalir deras, puluhan ribu pengguna Facebook mendaftar menjadi anggota grup – bertambah terus hingga ratusan ribu dalam hitungan hari – dan memberikan berbagai pernyataan dukungan. Ketika televisi masih sibuk menyiarkan gosip Manohara, gencarnya dukungan terhadap Prita melalui grup Facebook membuat dua capres rival SBY – Megawati dan Jusuf Kalla – bersimpati dan menyerukan pembebasan. Prita pun dibebaskan, meskipun hanya penangguhan penahanan.

Keberhasilan grup Facebook dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa kembali ditunjukkan dalam penggalangan dukungan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditahan oleh Mabes Polri, Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah. Rivalitas antara lembaga kepolisian dan KPK yang sudah berlangsung beberapa bulan meledak ketika tersebar transkrip rekaman pembicaraan untuk merekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK. Presiden SBY yang baru saja terpilih untuk masa jabatan kedua terus bersikap membiarkan fungsi KPK dilemahkan. Sikap kepala batu Kapolri dan Presiden menuai protes luas dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam sehari, grup dukungan terhadap Bibit dan Chandra meraih seratus ribu anggota Facebook, dan terus bertambah.

Apakah Facebook sebagai sebuah media komunikasi sosial akan menunjukkan ketangguhannya, dan menjadi musuh penguasa, sebagaimana terjadi di Iran pada pemilihan presiden lalu? Karena ketakutan bahwa capres dari kalangan reformis bakal meraih dukungan luas dari kalangan muda, pemerintahan konservatif Iran memblokir berbagai situs terutama Twitter dan Facebook. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan kemampuan teknologi komunikasi mendorong perubahan sosial. Keruntuhan Blok Timur dan bubarnya Uni Soviet tidak lepas dari meluasnya jaringan televisi satelit yang dipancarkan dari negara-negara Blok Barat. Begitu pula kejatuhan Suharto pada 1998 dibantu oleh penggunaan internet, khususnya milis Apakabar yang fenomenal saat itu. Mobilisasi massa untuk menjatuhkan Presiden Estrada di Filipina dilakukan dengan teknologi pesan pendek (SMS) telepon seluler.

Sebagai media komunikasi dunia maya, konten yang ditampilkan Facebook adalah cerminan dari realitas di kehidupan nyata. Jika sebelumnya cetusan-cetusan dan keluhan hanya dilampiaskan dalam umpatan dan sumpah-serapah, Facebook membuatnya telanjang, vulgar, tertampil apa adanya. Sebuah grup dukungan bisa menjadi alat ukur sederhana untuk menunjukkan tingkat kesadaran politik warga negara, meskipun terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang mampu mengakses internet. Tetapi membayangkan bahwa “aksi dunia maya” akan otomatis bertransformasi menjadi “aksi dunia nyata,” dalam bentuk aksi-aksi massa di jalan-jalan, adalah terlalu optimistik. Kehadiran Facebook memang memperluas kesadaran politik, tetapi bukan faktor penentu. Aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan politik riil-lah yang kemudian menentukan jalannya perubahan sosial. Gejolak sosial di Eropa Timur dan kejatuhan berbagai rezim tidak saja didorong oleh meluasnya media komunikasi, tetapi juga kemampuan gerakan oposisi untuk mengkanalisasinya lewat aksi-aksi massa.

Realitas politik Indonesia paska Pemilu 2009 menghasilkan sebuah rezim dengan kecenderungan menjadi bentuk baru otoritarianisme. Sejumlah kalangan menyebutnya Orde Baru jilid dua, sebagai sebuah model rezim tanpa kehadiran oposisi. Hilangnya kekuatan oposisi di parlemen dan di sisi lain masih lemah dan terpecah-pecahnya gerakan ekstra-parlementer membuat kesadaran politik yang menguat di tingkat massa-rakyat tidak menemukan kanalisasinya. Jika gerakan ekstra-parlementer tidak bahu-membahu untuk bersatu menjadi kekuatan oposisi alternatif di luar parlemen, kesadaran yang tercermin dalam “aksi dunia maya” melalui Facebook dikhawatirkan akan menguap begitu saja, menghasilkan apatisme publik.

* Penulis adalah penggiat globalisasi pada Institute for Global Justice (IGJ), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Selengkapnya......