Kamis, 01 Januari 2009

Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi di Indonesia

Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi), Edisi Januari 2009








Judul : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia – Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)

Cetakan : I (Januari 2008)

Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)


Menulis buku, terutama topik yang cukup serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia. Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul “Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007, memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK, dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara sendiri menanggapi situasi.

Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme, politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998 dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto, menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal. Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967 GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590, Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$ 1.500 dan Indonesia US$ 1.100!

Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan Indonesia

John Pilger, wartawan terkemuka berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris, membuat film dokumenter tentang Indonesia, The New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa, diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar...”

Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global, padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental, dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan ekonominya.

Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru, tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya (US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari bank komersial yang mengenakan persyaratan berat: berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144 triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun lebih.

Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.

Beban utang ini menggelayuti pemerintahan pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp 61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias. Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22 triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp 95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.

Profesor William R. Liddle menyebut kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja, sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329 basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29% lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan, malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis (hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.

Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%, Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana. Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas. Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala program yang meringankan beban rakyat dan lihai mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan) tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun, perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.

Jalan Baru Seperti Apa?

Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan korporatokrasi global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model generik Konsensus Washington. Selama tidak ada perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi, Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat.

Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang, namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang “kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab demi bab.

Tapi, untuk memberikan gambaran apa adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya. Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.

Selengkapnya......

Selamatkan Indonesia dari Cengkeraman Korporatokrasi

Sumber: Jurnal Tanah Air (Walhi) Edisi Januari 2009









Judul : Agenda Mendesak Bangsa - Selamatkan Indonesia!

Penulis : Mohammad Amien Rais

Penerbit : PPSK Pers (Yogyakarta)

Cetakan : II (April 2008)

Tebal : 298 halaman + xv


“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?” Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan permenungannya dalam buku ini. Mengambil perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat. Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh, yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap, yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.

Nasionalisme dangkal ini yang membuat kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan. Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan, migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.

“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanah-tanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan korporatokrasi.

Elemen-elemen Korporatokrasi

Korporatokrasi, menurut John Perkins (2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi, perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilai-nilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri. Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi. Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002) di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja, karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli, pemalsuan akuntansi, pencucian uang, perusakan lingkungan, dan sebagainya.

Kedua, pemerintahan. Meskipun secara teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan. David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah Meksiko mengeluarkan sedikitnya 25 juta dolar sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7), untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang lebih menguntungkan korporasi.

Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan internasional. Di antara banyak bank korporat, dua lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment programs).

Keempat, militer. Dalam buku The Power Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961, memperingatkan akan bahaya military-industrial complex. Contoh mutakhir bagaimana kompleks militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad, Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih “rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root), dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan juta dolar.

Kelima, media massa. Pemikir konservatif Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20 tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah “propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi. Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC (Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN (AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M, Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi. Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan, produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog (musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog (mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-elus, tidak lagi berbahaya.

Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan. Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan sasaran oleh kekuatan korporat untuk mencetak sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi. Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh universitas setelah mengalami himpitan finansial. Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan ekonomi dan politik.

Ketujuh, elite nasional bermental inlander. Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya. Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah, membuahkan kebingungan, kelembaman (inertia), dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir, berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington. Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya presidennya sendiri adalah kepala bandit.

Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa

Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara). Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing. Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington, dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi investasi (era SBY-JK).

Amien Rais menawarkan sejumlah saran demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional. Berbagai Kontrak Karya pertambangan dan KPS (Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan bangsa. Bahkan demi kepentingan pelestarian lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang, dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang (debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri.

Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur, dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan. Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa. Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum, gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO), hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang ancaman globalisasi dan korporatokrasi, sehingga diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan aktivis dan intelektual.(*)

Selengkapnya......