Rabu, 31 Oktober 2007

Penjaga Pintu Air Kali Porong: Akibat Pembuangan Lumpur, Warga di Bantaran Sungai Cemas Jika Musim Hujan Tiba

Sumber: Walhi, Walhicourtcase's Weblog

Persidangan kasus Lapindo (31/10) di PN Jakarta Selatan mendengarkan kesaksian dari dua orang warga. Saksi pertama, M Syafrul (40) bertugas sebagai penjaga pintu air Kali Porong. Syafrul sudah sejak tahun 1988 bekerja membagi air irigasi ke sawah, sumur-sumur milik warga dan sumber air untuk PDAM. Aliran air berasal dari Kali Kanal, merupakan anak sungai Kali Porong, jaraknya sekitar 30 km di atas posisi pembuangan lumpur (spill way) ke arah hulu. Menurut Syafrul, setelah pembuangan lumpur ke Kali Porong, masyarakat di empat desa yakni desa Mindi, Pejarakan, Kedung Cangkring dan Besuki masih menggunakan air dari Kali Kanal untuk keperluan sehari-hari, memasak dan mandi. Dari penjelasan Syafrul, di bagian sebelah atas (arah ke hulu) dari spill way masih banyak orang yang melakukan aktivitas menangkap ikan. Bahkan PDAM menggunakannya sebagai sumber air sejak lima tahun lalu.

Sebaliknya kondisi di sebelah bawah (ke arah laut) Kali Porong tingkat sedimentasinya makin tinggi. Jika sebelum pembuangan lumpur jarak dari dasar sungai dengan tebing sekitar 7 meter, sekarang tinggal 1,5-2 meter saja. Sedimentasi ke arah hulu hanya sejauh 200 meter, sedangkan ke arah laut mencapai 2 km. Akibatnya warga di pinggir Kali Porong sekarang merasa cemas, jika sewaktu-waktu air sungai meluber saat datang musim hujan. Jika ini betul-betul terjadi, Syafrul meyakini 5 kecamatan di 3 kabupaten (Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan) yang berada di sepanjang Kali Porong terancam terendam luapan sungai. Sejak dikeluarkannya Perpres tentang pembuangan lumpur ke Kali Porong (Maret 2007) sendiri musim penghujan belum terjadi, tapi kecemasan tetap menghinggapi warga.

Syafrul tinggal di desa Besuki (kecamatan Jabon), rumahnya terletak 50-an meter dari Kali Porong. Jarak dari titik pusat semburan sekitar 1,5 kilometer, sedang dari tanggul penahan lumpur hanya 200 meter. Tapi tidak ada imbauan atau peringatan apa pun untuk evakuasi dari pemerintah, alasannya desa tersebut masih dikategorikan sebagai daerah aman, sebab sama sekali belum tergenang lumpur. Warga desa sendiri sudah merasa terbiasa dan kebal dengan bau dan asap dari semburan lumpur.

Tugas Syafrul adalah membuka pintu air jika spill way menggelontorkan lumpur ke Kali Porong, agar lumpur bisa dialirkan ke laut. Selain itu menurut Syafrul ada dua kapal keruk, ekskavator dan long arm untuk membantu mengaduk lumpur. Aliran air dari pintu air selain ke arah spill way juga ada yang menuju ke pond-pond penampungan lumpur.

Sementara saksi kedua, Hadi Prayitno (47) yang menjadi relawan pemantau tanggul di titik rawan 25 hingga 42 mengungkapkan bahwa BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) pernah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa lumpur tidak membahayakan kesehatan. Waktu peringatan tujuh belasan, dua kuintal bibit ikan diceburkan ke kolam di samping tanggul untuk lomba mancing ikan, dan warga yang mengkonsumsinya tidak apa-apa. Tapi setelah ditegaskan oleh pihak penggugat dari WALHI, jelas bahwa ikan-ikan itu tidak mungkin dilepaskan di dalam lumpur panas.

Tugas sehari-hari Prayitno mengawasi mana-mana tanggul yang kritis, yaitu yang mulai terjadi rembesan lumpur dan dikhawatirkan jebol. Rembesan sering terjadi di daerah patahan, di mana tanah mengalami penurunan dan tanggul menjadi bocor. Setiap hari, bersama 27 anggota tim sukarelawan bekerja 2 shift, masing-masing 12 jam. Meskipun bekerja di dekat pusat semburan lumpur, Prayitno dan kawan-kawan tidak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit ataupun sekadar check-up karena merasa sehat-sehat saja. Tim relawan ini bukan bagian dari Timnas maupun BPLS, dan sayangnya aktivitas pemantauan tanggul yang dikerjakan mereka tidak pernah dicatat atau didokumentasikan sama sekali.

Prayitno sendiri tidak tahu-menahu dengan aktivitas 400-an armada truk pengangkut sirtu yang hilir mudik tiap hari non-stop (kecuali Lebaran) untuk meninggikan tanggul. Sebelum menjadi pemantau tanggul, Prayitno adalah seorang wiraswastawan. Tapi tragedi lumpur Lapindo yang mematikan denyut nadi perekonomian seolah melemparkannya menghabiskan hari-hari di atas tanggul penahan lumpur, dengan bau dan panas dari semburan lumpur.

Selengkapnya......