Sabtu, 15 Juli 2000

Menghadapi Neo-Liberalisme: Saatnya Membangun Kekuatan Buruh

Diterbitkan di Majalah "Pasoendan" (BPPM Fisip Universitas Pasundan Bandung) Edisi 1/Th I Juli 2000

Kebutuhan untuk senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang hasil produksi merupakan dorongan di kalangan borjuis untuk merangkul muka bumi dengan barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, menjalin hubungan-hubungan di mana-mana. Melalui penghisapannya atas pasar dunia, borjuis telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner meratap sedih karena borjuis telah menyeret pijakan bumi industri bangsa dari bawah kakinya.2)Munculnya fenomena neoliberalisme pada akhir dasawarsa '70-an tidak serta-merta berdampak pada liberalisasi politik di berbagai negara. Dunia masih dikungkung oleh Perang Dingin antara dua blok adidaya, dan kecemasan terhadap masa depan peradaban: kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga, ancaman nuklir, pencemaran lingkungan dalam skala global dan ledakan jumlah penduduk. Tidak heran, untuk mencegah subversi komunis, blok kapitalis rela membiayai rejim-rejim militer korup dan represif seperti Augusto Pinochet dan Suharto. Meskipun, tentu saja efeknya beban korupsi menjadi tanggungan mereka.

Kapitalisme, yang secara serampangan sering diidentikkan dengan "demokrasi liberal", pada kenyataannya bersekutu dengan kediktatoran militer. Militerisme mereka perlukan supaya gerakan perlawanan rakyat tidak meningkat, dan ujung-ujungnya bisa diinfilitrasi oleh komunis. Suharto membangun aparat represif bernama Kopkamtib, yang tugas utamanya setelah memenangkan kudeta kontra-revolusi 1965, adalah menciptakan stabilitas politik. Depolitisasi dilakukan secara sistematis, disangga oleh undang-undang dan dijalankan oleh aparat sipil dan militer, dari pusat hingga daerah. Sasaran utama depolitisasi adalah kaum buruh.



Buruh dalam "Rumah Kaca" Memberontak

Suharto membangun organisasi buruh pro-pemerintah, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Tugas utamanya adalah meredam gejolak perlawanan buruh, tetapi tidak begitu berhasil. Buruh tetap melakukan mogok kerja. SPSI bahkan menjadi sasaran kecaman internasional, mengingat kondisi buruh di Indonesia yang sangat menyedihkan. Dengan alasan "keunggulan komparatif", pemerintah Orde Baru sengaja menekan upah buruh murah untuk mengundang investasi asing. Amerika Serikat bahkan pernah mengancam akan mencabut fasilitas khusus untuk ekspor komoditas unggulan Indonesia ke negeri itu jika SPSI tidak juga mampu memenuhi standar ILO.

Gejolak perlawanan buruh meningkat pesat pada awal '90-an. Sepanjang tahun 1994, kaum buruh Indonesia telah melakukan demonstrasi (pemogokan) sebanyak 1130 kali. Jumlah jam kerja yang dihilangkan adalah 2,8 juta jam kerja - bernilai sekitar 240 milyaran rupiah. Angka demonstrasi buruh yang paling tinggi terjadi di Jawa Barat (khususnya Jabotabek) dengan 581 kali, Jawa Timur 200 kali, Sumatera Utara 140 kali, Jakarta 126 kali, Jawa Tengah 54 kali, Riau 5 kali, Kalimantan Barat 3 kali dan Sumatera Selatan 1 kali. Jumlah ini meningkat sebanyak 350% dari tahun 1993, yang hanya berjumlah 312 demonstrasi (pemogokan); sedang perlawanan mahasiswa berjumlah 100-an kali (82 kali di Jawa Tengah); dan kaum tani 50-an kali.3)

Pesatnya angka pemogokan buruh tidak bisa dilepaskan dari strategi industrialisasi Orde Baru pasca-boom minyak. Selama Pelita IV (1983-1988), pemerintah mengubah strategi industrialisasi substitusi impor menjadi orientasi ekspor. Dan, laksana buah simalakama, industrialisasi berarti pertambahan jumlah buruh, dan secara dialektis juga mempertajam kontradiksi dalam hubungan produksi. Dibukanya Indonesia bagi investasi asing besar-besaran membawa Indonesia ke dalam pusaran perekonomian internasional. Utang luar negeri kita melonjak. Akibatnya, ketika utang-utang itu jatuh tempo, pengusaha Indonesia tidak sanggup melunasinya. Pecahlah krisis ekonomi 1997; Indonesia jatuh ke dalam jurang krisis sosial politik yang sangat parah.

Kapitalis internasional tidak lagi menghendaki modalnya digerogoti oleh kapitalis kroni model Orde Baru. Sejak pecahnya "gelombang demokratisasi ketiga" yang melanda Dunia Kedua alias blok komunis, mereka tidak lagi merasa perlu alat represif berupa rejim militeristik. Neoliberalisme menemukan momentumnya untuk melancarkan serangan ke berbagai penjuru dunia, tanpa takut lagi terhadap bahaya komunis. Ekspansi modal antar-sesama kapitalis yang menyebabkan terjadinya overproduksi hanya bisa ditanggulangi dengan penghancuran hambatan-hambatan investasi dan perdagangan. Blok-blok pasar bebas dibangun, seperti NAFTA, Uni Eropa, APEC dan AFTA.
Hubungan-hubungan produksi kapitalis di Indonesia bertabrakan dengan superstruktur rejim diktator Suharto. Kontradiksi itu menajam dalam bentuk aksi-aksi mahasiswa, menyusul aksi-aksi kaum miskin kota mendukung Megawati selama kampanye pemilu 1997. Suharto pun jatuh. Revolusi demokratik baru saja dimulai.


Kontradiksi Semakin Menajam

Krisis ekonomi 1997 paling keras menimpa kaum buruh. Sebelum krisis, buruh sudah menderita akibat eksploitasi nilai lebih kerjanya oleh pengusaha, dan ditindas oleh aparat militer. Setelah krisis, mereka kembali dihempaskan akibat membubungnya harga barang-barang seiring jatuhnya nilai rupiah. Industri berhenti atau menurunkan kapasitas produksi; lagi-lagi buruh yang harus menanggung dengan "rela" di-PHK.

Resep neoliberal yang ditawarkan IMF antara lain privatisasi BUMN dan pencabutan subsidi kebutuhan pokok rakyat. Privatisasi menghendaki efisiensi, dan itu artinya PHK massal kaum buruh. Pencabutan subsidi berarti kenaikan harga barang-barang. Kenaikan BBM pada 1998 memicu parahnya krisis. Kenaikan listrik pada 1 April 2000 menimbulkan peningkatan biaya produksi, dan pengusaha mengantisipasi dengan menaikkan harga produknya serta menekan upah buruh. Data yang dihimpun oleh organisasi buruh pimpinan Dita Indah Sari (FNPBI) menunjukkan bahwa UMR tahun 2000 hanya memenuhi 65% kebutuhan hidup minimum (KHM), karena itu FNPBI menuntut kenaikan upah 100%.4)

Pemogokan buruh bertambah pesat, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.



Tabel 1. Data aksi buruh di wilayah Jabotabek


Tahun 2000
Januari 90
Februari 120
Maret 120
April 224
Total 601

Sumber: Pembebasan, edisi 18/Th. V/Juli 2000.

Kekuatan buruh secara spektakuler ditunjukkan pada aksi peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei kemarin. Ribuan buruh di berbagai kota di Indonesia berduyun-duyun ke jalan menuntut tidak saja perbaikan kesejahteraan yang sifatnya normatif, tetapi juga telah mulai mengangkat isu-isu penindasan oleh kapitalisme dan negara. Aksi-aksi buruh selama satu tahun belakangan ini sebagian besar bersifat spontan, hanya kira-kira 9% yang terwadahi dalam organisasi.5)amun itu tidak berarti kelemahan bagi gerakan buruh, justru ini menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi buruh yang ada untuk menyalurkan perlawanan spontan buruh ke dalam aksi-aksi yang terorganisir.
Beberapa di antaranya menyatakan diri dalam bentuk partai politik, dan mereka ikut bertarung dalam pemilu 1999, yaitu PRD, PBN (Partai Buruh Nasional), PPI (Partai Pekerja Indonesia), PSPSI (Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia) dan PSP (Partai Solidaritas Pekerja). PRD mempunyai pengalaman menggalang aksi-aksi buruh melalui organisasi PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), tetapi kemudian dilarang oleh pemerintah setelah pecah peristiwa 27 Juli 1996. PBN mempunyai basis massa SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) pimpinan Muchtar Pakpahan. Sisanya berbasiskan pecahan-pecahan organisasi buruh korporatis F-SPSI bentukan Orde Baru.
Sementara itu partai-partai borjuasi pun mempunyai organisasi buruh masing-masing, seperti Golkar dengan F-SPSI, PKB dekat dengan Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia), PAN dengan SOPAN (Solidaritas Pekerja Amanat Nasional), PBB dengan PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), Partai Keadilan dengan Serikat Pekerja Keadilan, serta PDI-P dekat dengan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis). Tentu saja, partai-partai borjuasi itu nantinya akan dimintai pertanggungjawaban pada pemilu 2004, sejauh mana mereka benar-benar memperjuangkan aspirasi buruh.

Kondisi riilnya, elit-elit borjuasi tidak bersikap tegas terhadap strategi neoliberal yang dipaksakan oleh IMF, Bank Dunia dan WTO. Partai Golkar, satu-satunya partai yang kenyang dengan pengalaman kekuasaan 32 tahun, dan bersekutu dengan neoliberalisme, tentu saja tidak mungkin mengubah dukungan. Megawati tidak menolak IMF, demikian pula Amien Rais, Hamzah Haz dan tokoh-tokoh "reformis" (gadungan!) lainnya. Gus Dur sendiri, tokoh paling moderat saat ini, tidak menyatakan anti-neoliberalisme. Bahkan, 1 April lalu Gus Dur ngotot menaikkan tarif dasar listrik, sejalan dengan usulan IMF.

Warisan krisis ekonomi dan semakin kuatnya cengkeraman neoliberalisme mau tidak mau akan mempertajam kontradiksi sosial, antara buruh dengan kapitalis dan negara. Andaipun Gus Dur berhasil mengenyahkan sisa-sisa kapitalis kroni, dalam hal ini diwakili oleh Golkar, ia tidak mungkin lari dari watak borjuasinya. Pengalaman di Afrika Selatan dan Korea Selatan menunjukkan, bagaimana presiden populis Nelson Mandela dan Kim Dae-jung pun "terpaksa" menggunakan aparat represif untuk menghadapi aksi-aksi buruh COSATU dan KCTU.


Belajar dari Pengalaman

Contoh-contoh di luar negeri cukup memberi bukti kekejian neoliberalisme terhadap rakyat, khususnya buruh. Di Meksiko, pada aksi May Day 1999 ratusan ribu buruh turun ke jalan menentang rencana privatisasi perusahaan listrik negara dan menuntut kenaikan upah 100% serta perluasan kesempatan kerja. Praktik neoliberalisme di negara itu telah menciptakan pengangguran dan kenaikan harga akibat pencabutan subsidi. Di Venezuela, angka pengangguran telah mencapai 15% dari seluruh angkatan kerja. Sedang di Kolombia, angkanya sebesar 20%. Besarnya jumlah pengangguran mengancam timbulnya keresahan sosial. Aksi-aksi buruh merata di seluruh benua Amerika Latin, semuanya menentang neoliberalisme.6)

Di Turki, pemerintah menuruti saran IMF dengan mengajukan RUU Refromasi Jaminan Sosial yang akan menaikkan usia pensiun dan menurunkan uang pensiun. Akibatnya, 250.000 buruh dari berbagai konfederasi yang bergabung dalam Aliansi Kaum Buruh turun ke jalan menolak RUU tersebut. Mereka juga menentang rencana privatisasi dan konsesi pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan transnasional. Aksi protes tersebut didukung pula oleh partai-partai sosialis-demokratik, dan yelyel yang diserukan antara lain berbunyi: "Bubarkan IMF", "Anjing-anjing IMF, kami tidak ingin privatisasi" dan "Gulingkan pemerintah".7)

Di India, jutaan buruh yang dimobilisasi oleh berbagai serikat buruh dan partai-partai komunis sempat melumpuhkan negeri padat penduduk itu, dalam rangka menentang strategi neoliberal yang diadopsi oleh pemerintahan sayap kanan BJP.
Bahkan, kaum buruh di negara-negara industri maju pun bergerak menolak neoliberalisme. Awalnya adalah pemogokan umum di Prancis pada Desember 1995. Buruh-buruh kereta api mogok sebagai respons pemerintah memotong tunjangan sosial. Represi dari pemerintah justru memperkuat gelombang perlawanan buruh, hingga jumlahnya meningkat menjadi 2 juta orang setelah 24 hari pemogokan. Bulan Oktober, 1,6 juta buruh sektor publik mogok menentang proposal di parlemen untuk menghapuskan tunjangan bagi buruh dan PHK terhadap 5.500 lapangan kerja menjelang akhir tahun. Di Belgia, buruh-buruh yang tergabung dalam Federasi Umum Pekerja Belgia mogok sehari menuntut pengurangan jam kerja tanpa pemotongan upah untuk mengurangi pengangguran. Di Jerman, 400.000 buruh parbik baja, galangan kapal dan industri manufaktur lainnya mogok menolak pemotongan upah waktu sakit. Di Toronto (Kanada), 300.000 buruh mogok dan melakukan pawai menentang pemotongan anggaran negara untuk tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah daerah propinsi Ontario.8)

Di Yunani, 3 juta buruh mogok nasional memrotes pengumuman pemerintahan sosial-demokrat PASOK yang menyatakan akan menyapu "ukuran-ukuran kemandegan ekonomi" (subsidi sosial). Di Italia, 7 juta buruh mogok sehari memrotes pemerintahan koalisi yang intinya adalah Partai Demokrasi Kiri (semula partai komunis) yang berencana membabat subsidi.9)

Kemenangan besar dicapai oleh buruh-buruh Prancis, ketika 50.000 sopir truk mogok selama 12 hari dengan memenangkan tuntutan utama mereka yaitu pemotongan jam kerja tanpa pemotongan upah dan pemendekan usia pensiun dari 60 menjadi 55 setelah 25 tahun kerja. Kuncinya terletak pada solidaritas sesama buruh yang kuat. Masyarakat ikut mendukung aksi tersebut, seperti para pemilik restoran, pompa bensin dan usaha kecil lainnya.10)


Strategi-Taktik Memenangkan Gerakan Buruh

Tugas mendesak saat ini adalah menyatukan gerakan buruh, dari tingkat pabrik menjadi tingkat kota, propinsi dan akhirnya nasional. Aksi-aksi spontan buruh harus diarahkan menjadi aksi-aksi terorganisir, disatukan dalam wadah-wadah permanen (serikat buruh). Tuntutan yang masih ekonomis dinaikkan menjadi politis, dengan memasukkan isu-isu yang kontradiktif dengan kebijakan negara.

Seperti tulis Lenin:


Apa yang menjadi persoalan utama dalam penerapan di Rusia terhadap program umum bagi semua kaum Sosial Demokrat? Kita telah menyatakan bahwa esensi dari program ini adalah mengorganisasikan perjuangan kelas proletariat, dan memimpin proletariat dan pembentukan sebuah masyarakat sosialis. Perjuangan kelas mencakup perjuangan ekonomis (perjuangan melawan individu kapitalis atau kelompok individu kapitalis untuk peningkatan kondisi kerja) dan perjuangan politik (perjuangan melawan pemerintah untuk memperluas hak-hak rakyat, misalnya untuk demokrasi, dan untuk memperluas kekuatan politik proletariat). [...] Semua kaum Sosial Demokrat sepakat bahwa perlu untuk mengorganisasikan perjuangan ekonomi kelas pekerja [...] Namun melupakan perjuangan politik untuk perjuangan ekonomi akan menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Sosial Demokrasi, akan berarti melupakan apa yang diajarkan kepada kita tentang keseluruhan sejarah gerakan buruh.11)

Tugas Gerakan Pro-demokratik


Mahasiswa dan elemen-elemen pro-demokrasi lainnya harus memandang ke depan, mencermati bahaya neoliberalisme. Sukses menumbangkan Suharto hanyalah titik awal bagi sebuah proses revolusi demokratik. Selanjutnya tugas gerakan pro-demokratik adalah memajukan kontradiksi kelas, dengan terjun ke basis-basis rakyat, terutama buruh. Mulailah mengorganisasikan perlawanan buruh, masuk ke kantung-kantung industri, berinteraksi dengan kaum buruh, berdiskusi, dan aksi. Bentuk serikat-serikat buruh, lakukan aksi-aksi, dengan isu ekonomis maupun politis. Galang front-front buruh maupun front multisektor anti-neoliberalisme. Propagandakan bahaya neoliberalisme kepada masyarakat luas.

Kemenangan pasti akan tiba bagi perjuangan kelas buruh. Sebuah masyarakat baru akan tercipta dari rahim kapitalisme.



Catatan Kaki


1) Penulis adalah pengurus Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Kotamadya Bandung, masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).

2) Karl Marx, Manifesto Partai Komunis, terjemahan dari internet.

3) Menuju Demokrasi Multi-Partai Kerakyatan, Dokumen PRD, biasa disebut sebagai Manifesto PRD.

4) "Penetapan UMR 2000", Seruan Buruh, edisi VII/Maret 2000. Seruan Buruh adalah media resmi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).

5) "Satu Mei, Buruh Tuntut Upah Naik 100%", Pembebasan, edisi ke-18/Th. V/Juli 2000. Pembebasan adalah media resmi PRD.

6) "Amerika Latin: Ratusan Ribu Turun ke Jalan", Seruan Buruh, edisi I/Juni 1999.

7) "Turki: Kaum Buruh Bersatu Lawan IMF", Seruan Buruh, edisi III/Agustus 1999.

8) Doug Lorimer, Globalisasi, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis, terjemahan.

9) ibid.

10) ibid.

11) Lenin, Program Kita, terjemahan dari internet. .


Selengkapnya......